Rabu, 26 Maret 2008

Wanita, Kenali Bahasa Anda!

“Semakin kenal aku seorang wanita, semakin tak mengertilah aku akan dia”, begitu ujar Shakespeare melihat sosok wanita."

Ya, wanita ternyata menyimpan sisi yang lain dari segi bahasa. Mereka, secara tak sadar menggunakan bahasa yang menjadi pakem mereka. Walhasil, kaum pria menganggap kalau wanita adalah makhluk yang misterius. Seperti anggapan Shakespeare tadi.

Secara mendasar, antara wanita dan pria memang berbeda dari segi fisik. Seperti yang diutarakan Dr. Deddy Mulyana dalam bukunya berjudul Nuansa-nuansa Komunikasi. Pada waktu lahir, bayi laki-laki lebih berat daripada bayi perempuan. Pria memiliki lebih banyak kadar air dalam tubuhnya daripada wanita. Kalau pria berkisar 60-70%, maka wanita hanya 50-60%. Itulah sebabnya, pria lebih mampu mencairkan minuman keras dan pengaruhnya. Pria memiliki kecenderungan buta warna, sementara wanita tidak.

Dari segi biologis, pria ternyata lebih agresif daripada wanita. Hal ini disebabkan karena pria memiliki hormon testosteron. Wanita memiliki struktur otak yang berbeda sehingga mereka lebih unggul secara verbal. Karenanya, wanita lebih berbakat dalam bidang bahasa dan pria dalam matematika dan ilmu ukur.

Adalah Robin Lakoff (1975) mengemukakan bahwa ternyata wanita memiliki bahasa yang secara tak sadar terbentuk. Hal ini disebabkan adanya stereotip yang dibentuk wanita itu sendiri. Misalnya saja, wanita berbicara lebih sopan daripada pria dan pembicaraan kaum wanita biasanya tidak tegas. Wanita juga dinilai lebih sering bergosip daripada pria, bertele-tele, lebih emosional, dan terperinci.

Dari penelitian Lakoff di Amerika, tercatat beberapa ciri bahasa wanita yang muncul akibat stereotip tadi. Wanita memiliki kosakata khusus yang berkaitan dengan minat mereka. Misalnya saja, wanita lebih mengembangkan nama-nama warna dibandingkan pria. Muncullah nama-nama warna yang lain dari wanita seperti magenta, puce, atau teal. Wanita juga memiliki kata-kata yang dianggap hambar, seperti lovely, sweet, cute, atau charming. Wanita sering menggunakan kata-kata penguat, misalnya so, very,dsb. Wanita juga dianggap kurang memiliki rasa humor. Mereka dirasa kurang pandai melucu dan sering tidak paham arti lelucon yang disampaikan pria.

Beberapa penelitian sesudahnya ternyata membenarkan penelitian Lakoff. Misalnya Julie McMillan (1977) meneliti berbagai kelompok orang yang masing-masing terdiri dari lima hingga tujuh orang. Ternyata, semua kelompok wanita menggunakan kata-kata penguat seperti very dan so, sebanyak enam kali lebih banyak daripada pria. McMillan juga menemukan, bahwa dalam situasi komunikasi yang sebenarnya, wanita memakai tag questions (kalimat ekor tanya) tiga kali lebih banyak daripada pria.

Penelitian lain juga melaporkan efek bahasa wanita yang digunakan dalam ruang pengadilan. Penelitian itu menunjukkan penggunaan bahasa wanita (terlepas dari apakah digunakan wanita atau pria) secara konsisten menghasilkan reaksi-reaksi yang merugikan. Ketika bahasa wanita digunakan, pembicaraannya dinilai kurang jujur, kurang cakap, dan kurang cerdas. Namun, penelitian itu memperlihatkan bahwa adapula pria yang menggunakan bahasa wanita dan ada wanita yang tidak menggunakannya sama sekali.

Peneliti lain, yaitu Patricia Bradley (1981) juga menemukan bahwa penggunaan kata atau frase yang melemahkan kata dan frase lain, serta tag questions, menimbulkan efek yang merugikan dalam kelompok (diskusi) kecil bila strategi-strategi linguistik itu digunakan wanita. Dalam hal manajerial, menurut Baird dan Bradley (1979), kalau pria dipersepsi lebih dominan, cepat menantang orang lain, dan mengarahkan jalannya percakapan. Sedangkan wanita lebih unggul dalam menunjukkan kepedulian dan perhatian pada orang lain.

Adapula peneliti yang menemukan bahwa wanita lebih unggul daripada pria dalam mengekspresikan ketakutan, kecintaan, kemarahan, dan kebahagiaan. Buck (1974) menemukan bahwa wanita dewasa menampilkan wajah lebih ekspresif dan merupakan komunikator nonverbal yang lebih cermat. Selain itu, wanita juga lebih banyak melakukan kontak mata. Tetapi karena keseringan pengiriman pesan no-verbal itu, akhirnya wanita dianggap emosional dan kurang mampu mengendalikan diri. Disamping itu, perilaku wanita dianggap sering menyetujui diam-diam aau bahkan submisif. Misalnya, wanita lebih merendahkan pandangan mata, memiringkan kepala, menunjukkan postur yang kaku, dan mengalah pada invasi ruang yang dilakukan pria.

Untuk wanita Indonesia sendiri, sebenarnya tidak jauh beda dengan perilaku bahasa wanita di Amerika. Berdasarkan kerangka bahasa wanita yang dipaparkan Lakoff, dapat ditemui bberapa hal berikut ini.

Wanita memiliki kosakata tertentu mengenai warna, misalnya nila, salem, marun, tosca, dan kata-kata sifat tertentu seperti mungil, indah, lucu, elok. Sedangkan pria, mungkin lebih banyak menggunakan kata-kata jorok. Wanita Indonesia juga senang menggunakan kalimat ekor tanya, misalnya, “Ia tampan, kan?”. Mereka juga senang menggunakan kata-kata penguat seperti; begitu, demikian, sangat, sungguh, atau seperti. Adapula kata-kata atau frase yang melemahkan kata atau frase lain yang juga mereka digunakan. Misalnya; mungkin, saya kira, anda tahu, dsb. Tak ketinggalan pula frase-frase yang sangat sopan, misalnya: “Sudikah anda…?”, “Saya akan senang apabila anda…”,dst

Agaknya, wanita Indonesia juga lebih pandai menggunakan bahasa non verbal dan mendeteksi perilaku nonverbal orang lain. Itulah sebabnya, mengapa wanita dikatakan makhluk yang sangat peka. Selain itu, untuk wanita yang berstatus ibu, mereka akan lebih peka apabila terjadi sesuatu pada anak-anaknya. Bagaimana dengan anda?

Tidak ada komentar: