Rabu, 26 Maret 2008

Menengok Perjokian yang Tak Pernah Mati

Oleh AF.Astrid

Taman Academos adalah sebuah cita-cita Plato yang direalisasikannya dengan sangat sederhana. Hanya mencipta tempat dimana orang-orang dapat lebih mengerti apa itu pendidikan. Plato pada waktu itu, mungkin lebih melihat potensi orang-orang cerdas yang akan mubazir kalau tidak dikumpulkan dalam satu wadah. Maka terciptalah tempat yang berlatar alam itu sebagai tempat berbagi ilmu dan menambah rasa haus akan ilmu pengetahuan itu.

Universitas, sebagai lembaga pendidikan tingkat akhir, awalnya pasti tidak jauh beda dengan model Academos. Yaitu, tempat mencipta pemikir-pemikir handal yang mampu memberikan sedikit perubahan bagi dunia. Universitas, tidak lagi digunakan sebagai tempat untuk mengajarkan norma-norma dan kesantunan, karena sekiranya hal itu sudah kita dapatkan pada bangku sekolah dasar, bahkan Taman Kanak-Kanak.

Seyogyanya, universitas memang menjadi tempat lahirnya para pemikir dan pekerja dalam artian sudah memiliki keahlian masing-masing. Dari tahun ke tahun, universitas, baik itu negeri maupun swasta tak pernah sepi oleh kurang lebih 10.000 peminat. Alasannya, salah satunya adalah adanya budaya yang sepertinya terlalu menghakimi orang-orang ‘tak bergelar’. Tentu kita semua tahu, budaya yang dicipta masyarakat membuat bahwa titel merupakan alat pendongkrak prestise keluarga di lingkungannya. Secara tidak langsung, cita-cita Plato mengalami pembiasan. Buktinya, tidak banyak ‘intelektual’ yang telah ditelorkan oleh universitas. Kebanyakan adalah para pemikir yang hanya bisa membicarakan keadaan tanpa ada gerakan riil. Adapun untuk tenaga keahlian seperti dokter,lawyer, dan sejenisnya, memang sangat menjamur tapi tak ‘laku’ semua. Itupun pada akhir mereka sarjana, tidak semua sarjana mencari kerja sesuai dengan jurusan yang dikenyamnya waktu kuliah.

Pada akhirnya, uang yang dikeluarkan para orang tua untuk membiayai kuliah anak-anaknya tidak lagi bertujuan agar anak-anaknya bisa lebih cerdas dan lebih bisa membawa keterpurukan sosial ekonomi lebih baik. Tapi, uang yang dikeluarkan mereka tidak lebih dari sekedar membeli sebuah prestise yang dinamakan gelar dan kebanggaan.

Untuk menjadi bagian dari universitas (yaitu mahasiswa) terlebih dahulu seseorang harus menempuh jalur SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru) yang dulunya lebih dikenal dengan istilah UMPTN. Tentu saja karena ada perubahan niat memasuki universitas, maka segala cara pun dilakukan dalam seleksi penerimaan ini. Salah satunya adalah menggunakan jasa ‘joki’.

Sekilas Tentang Joki

Terkait dengan kesimpulan tadi, bahwa universitas dimaknai hanya sebagai pencetak kebanggaan dan prestise dengan dalih titel (untuk sebagian besar masyarakat kita), maka muncullah para ‘malaikat pembantu’ yang dipanggil joki. Dari sekitar 13.000-an pendaftar (untuk Unhas saja) perhitungan secara kasar, yang menggunakan jasa joki sekitar 5-10%.Tidak diketahui sejak kapan sistem perjokian ini muncul. Awalnya, joki hanya sebuah istilah untuk orang yang memberikan jawaban dengan masuk menjadi salah satu peserta ujian. Lambat laun, pekerjaan joki ini pun meluas. Para calon Maba, bisa menggunakan jasa joki misalnya dengan diberikan jawaban sebelumnya (kalau memang ada kasus ‘soal bocor’!). Selain itu yang marak saat ini adalah sistem joki via hp, yaitu para joki memberikan jawaban kepada calon maba yang dibantunya dengan mengirimkan sms atau langsung ditelepon.

Imbalannya tidak tanggung-tanggung. Mulai dari 1-20 juta bisa dikantongi oleh para joki dari calon Maba yang lugu ini. Harga yang begitu mahal yang mereka bayar hanya untuk mendapatkan status mahasiswa!

Sekali lagi, tidak lepas dari sistem kebudayaan kita yang masih mendewakan pangkat dan titel, calon Maba pun melakukan segala cara untuk dapat lulus ujian seleksi ini. Apapun caranya! Tapi pertanyaannya adalah mengapa perjokian ini masih saja diminati dan masih akan hidup untuk waktu yang tidak kita ketahui. Padahal kita ketahui, begitu banyak peraturan yang diciptakan untuk memperketat ujian seleksi ini. Dan tentu saja, perjokian sampai kapanpun tidak dihalalkan dalam ujian ini.

Tiap tahun memang ada saja yang ditangkap basah dengan praktek perjokian ini. Baik ‘korbannya’ sendiri bahkan sampai jokinya juga. Sistem komunikasi yang begitu murah –dengan tersedianya kartu perdana eceran- tentu saja lebih memudahkan mereka untuk tidak terlacak apabila terjadi kegagalan operasi perjokian pada calon Maba. Walaupun ada peraturan yang mengatur untuk meregistrasi nomor, toh tidak terlalu mempengaruhi kurangnya kasus-kasus penipuan. Sekitar 3-4 orang mampu ditangkap dan diamankan atas praktek perjokian ini. Tapi sayangnya, mungkin pengguna jasa joki yang ditaksir kira-kira lebih dari 100 orang itu tak bisa dibongkar sindikatnya. Permainan antara pengawas-joki-calon Maba pun terkubur seiring selesainya pelaksanaan SPMB. Lebih naif lagi, tahun lalu malah ada media yang memberitakan pelaksanaan SPMB ‘aman dan berjalan lancar’.

Para pengawas yang jumlahnya kurang lebih seribu orang itu (2-3 orang/ruangan) tentu tidak bisa disalahkan sepenuhnya dengan tidak tertangkapnya joki yang lain. Bukan rahasia umum lagi, kalau beberapa oknum pengawas juga terlibat atas perjokian ini. Lebih lagi, honor yang didapat para pengawas hanya sekedar uang pelepas dahaga dan rokok.

Akhirnya, lingkaran sistem perjokian ini sama sekali tidak bisa dimusnahkan. Jangan disalahkan kalau calon maba inilah yang kemudian akan meneruskan perilaku korupsi yang ada di Indonesia. Lha wong, masuknya saja sudah tidak halal!

Bimbingan Belajar pun ‘Bermain’

Adalah Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) yang menjadi pilihan utama bagi siswa untuk membantu mereka dalam meningkatkan persiapan SPMB. Untuk wilayah Makassar sendiri, sekitar sepuluh LBB telah hadir menjamur dengan beragam program. uang yang dikeluarkan pun tak tanggung-tanggung, bahkan ada yang sampai 5 juta untuk program yang disebutnya Vip. Toh, masing-masing LBB memberikan tips dan latihan untuk persiapan SPMB. Tidak hanya yang berstatus siswa, adapula yang berstatus alumni ikut menyemarakkan bimbel-bimbel.

Satu hal yang menarik, LBB selalu saja menggunakan kata ‘jaminan’ lulus pada mereka. Kalau tak lulus, uang kembali, itu pula yang mereka sebutkan. Beberapa LBB memang berusaha keras untuk meloloskan siswanya ke universitas. Selain membantu mereka dalam latihan soal-soal, ternyata adapula LBB yang membantu mereka secara langsung dalam pelaksanaan SPMB, yaitu mengirimkan jawaban. Tentu saja sebelumnya, siswa ditawari dengan kompensasi memberikan uang pelicin. Entah itu untuk menyuap pengawas atau untuk mencari orang-orang ‘pintar’ dalam membantu mereka mengerjakan soal-soal. Walaupun tidak semua jawaban yang diberikan benar 100%, tapi setidaknya sudah sedikit membantu mereka. Secara riil, ini jelas dikategorikan bagian dari perjokian. Tentu saja, gambaran perjokian sudah dilembagakan akhirnya tergambar jelas.

Lucunya, kalau pada akhirnya mereka akan dibantu dalam ruangan untuk menjawab soal-soal SPMB, lalu kenapa para siswa harus capek-capek mengikuti latihan, try out dan program tambahan untuk persiapan SPMB?! Yang jelas, bimbingan belajar ini telah menciptakan tempat dimana joki dilembagakan! Secara tidak langsung, lembaga bimbingan belajar yang terkait dengan perjokian ini telah melakukan tindak pidana penipuan baik terhadap pelaksanaan SPMB, maupun terhadap siswa-orang tua yang mempercayakan dirinya pada LBB tersebut.

Masih jelas di ingatan penulis, peristiwa tahun lalu tentang terungkapnya kasus perjokian. Sebuah nama LBB pun turut terseret. Nyatanya hari ini, LBB yang ditengarai berbisnis joki itu masih bisa memberikan janji-janji kepada calon siswanya. Tanpa ada sanksi yang jelas.

Secara teori, pendidikan menjadi alasan utama agar orang bisa lebih pintar. Tapi nyatanya, tidak semua pendidikan bisa memberi nilai lebih pada masyarakat. Adanya sistem budaya yang membuat masyarakat takut tidak mendapatkan pengakuan sosial, akhirnya telah mencoreng muka pendidikan di Indonesia ini.

Adanya komersialisasi pendidikan seperti yang pernah diungkapkan Erich Fromm sedikit mengaburkan tujuan pendidikan tadi. Begitu mahalnya biaya pendidikan, khususnya universitas membuat masyarakat menjadi lebih berpikir konservatif terhadap universitas ini. Seperti yang tadi sudah diungkapkan, membayar mahal saat ini tidak lagi ditujukan untuk mencerdaskan manusia, tapi mengangkat prestise dan memberi kebanggaan dari gelar yang didapatnya. Siapa yang dapat keluar dari jeratan budaya seperti ini, kalau bukan kita sendiri yang mengubahnya. Jadi siapkah anda?

*(pernah dimuat di Harian Fajar Makassar)

Tidak ada komentar: