Rabu, 26 Maret 2008

Rentan, Perempuan Terserang Depresi!

Sebagai seorang istri, apalagi istri seorang tentara, perpindahan tugas bagi mereka adalah hal yang wajar. Tapi tanpa diketahui, tidak semua perempuan mampu menyesuaikan dirinya pada tempatnya yang baru. Hal inilah yang kemudian mampu menimbulkan distres emosional yang disebut depresi!

Bagaimana seandainya, jika lingkungan awalnya, seorang ibu rumah tangga penuh dan mengikti segala aktivitas kegiatan PKK (dalam hal ini Persit) dan punya waktu untuk beraktivitas lainnya. Kemudian, setelah pindah di kota kecil, si ibu tadi benar-benar tidak mampu menyesuaikan kesenangannya dengan lingkungan yang baru. Rutinitas yang statis pun harus menjadi bagian dari hari-harinya. Ia merasa tidak memiliki kesempatan mengintegrasikan kebutuhan pribadinya dengan aktivitas yang dilakukannya sebagai ibu rumah tangga. Keadaan ini membuat akhirnya dapat mengakibatkan depresi, dan depresi merupakan penghayatan emosional yang biasa dihadapi perempuan.

Peluang perempuan dilanda depresi memang dua kali lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Pengalaman ketidakberdayaan merupakan kondisi di mana seseorang merasa tidak pernah mendapat penghargaan dari apa yang dia lakukan dalam keseharian. Teradang kita merasa kurang mendapat kepuasan dari lingkungan, serta kurang mendapat penguat positif. Akhirnya, kita pun merasa diri kurang hadir karena apa yang dilakukan hanya terkait dengan peran tradisional perempuan. Misalnya, menyediakan sarapan untuk suami dan anak-anak, mengurus kebersihan rumah, memasak, mencuci piring, dan sebagainya.

Menurut Martin Seligman, peneliti dan psikolog, apabila seorang perempuan merasa tidak memberi pengaruh apa pun pada lingkungannya, perempuan itu akan mengembangkan perasaan apa yang dilakukan tidak berarti apa pun. Bila perasaan ini menetap, maka hasilnya adalah perasaan depresi berlanjut. Misalnya saja, seorang perempuan merasa mentok karena kariernya terhambat diskriminasi jenis kelamin. Ia akan merasa tidak suatu hal pun dapat dilakukan untuk memperoleh kesempatan promosi. Ia akan menderita depresi. Bila ia telah beberapa kali mengalami kegagalan pada masa lalunya, perasaan depresi akan dihayati menyeluruh dan mungkin berkembang ke arah sikap pesimis terhadap efektivitas setiap hal yang dia lakukan.

Apabila ini berkembang, maka ia dipastikan akan merasa depresi. Biasanya keadaan ini akan diikuti perasaan “daripada mencoba sesuatu yang baru, ia akan memutuskan untuk tidak melakukan apa pun”. Masalah yang ada sebenarnya, seorang perempuan mengamati dirinya sebagai seseorang yang tidak memiliki kemampuan mengendalikan apa yang terjadi dalam dirinya saat itu yang membuatnya terdorong ke arah kondisi depresi.

Yang menyedihkan adalah, janda yang ditinggal mati atau cerai yang berada dalam lingkungan masyarakat luas, cenderung menemukan dirinya berada dalam keadaan depresi. Banyak perempuan yang hidup pada masa sebelum tahun 1970-an atau kini pun yang menghadapi kenyataan tersebut. Yaitu dalam peran sebagai ibu rumah tangga, seorang istri menumpahkan seluruh perhatiannya untuk mengurus rumah tangga. Sementara itu, suami tidak merasa, bahkan tidak menyadari, apa yang mereka peroleh dari keberadaan istri dan usaha istri yang selama ini menumpahkan perhatian kepadanya.

Perempuan setelah menikah, cenderung menyerahkan kekuatan dasarnya sendiri. Perempuan seperti ini sering rela mengabaikan latar belakang pendidikannya untuk mendukung pendidikan suami dengan harapan, suaminya akan membalas budi. Namun, bila di kemudian hari perempuan ini justru kecewa dalam perkawinannya, maka kenyataan yang dia hadapi adalah mendapati dirinya tanpa pekerjaan dan tidak berdaya menghidupi diri sendiri. Serta-merta mereka akan menderita depresi berat.

Pada artikel Aaron Beck berjudul depresi pada perempuan, mengungkapkan bahwa gadis kecil mendapat penghargaan dari lingkungan karena kecantikannya dan bukan karena prestasinya. Banyak anak gadis mendapat penekanan khusus justru pada stereotip femininitasnya dalam hal kecantikan, erotisme, dan keindahan perilakunya. Bila mereka sudah memiliki semuanya, mereka dipastikan dapat meraih cita-cita untuk hidup senang dengan menikahi laki-laki kaya untuk kemudian sesuai dengan mimpinya mendapat rumah besar dengan kolam renang, punya mobil banyak, dan perhiasan berlimpah, namun bukan dari hasil kerja sendiri. Dengan perkawinan tersebut ia juga sekaligus memperoleh status sosial tertentu dan bisa saja menjadi sangat terkenal.

Untuk itu, dengan tetap mempertimbangkan kebersamaan dalam ikatan perkawinan, jadilah pribadi yang tetap berdiri atas identitas diri, oleh prestasi pribadi, demi terhindar dari depresi berlanjut di kemudian hari. Jangan pernah merasa terlalu tergantung pada suami. Karena kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupan kita selanjutnya.(AST-dari berbagai sumber)

pernah dimuat di majalah citrabuana, kodam VII/Wrb

Tidak ada komentar: