Senin, 09 November 2009

Ramuan Tradisional Madura

Saya menemukan sebuah buku yang sudah agak usang. Judulnya Resep Pustaka Tradisional Madura yang dibuat oleh Musaro Muji dan diterbitkan Pustaka Karya.
Tanpa bermaksud menampilkan pornografi di sini, ramuan ini sebagian besar memang diperuntukkan untuk pasutri. check it out!

1. menyembuhkan keputihan
Keputihan adalah semacam slim yang keluar terlalu banyak, warnanya putih seperti sagu kental dan agak kekuningan. Kalau keputihan sudah berlarut –larut menjadi berat, maka kemungkinan wanita yang bersangkutan menjadi mandul, tak bisa mempunyai keturunan.
Obatnya adalah; 10 lembar daun beluntas, sepotong kayu rapet kurang lebih sepanjang 5-6 cm pilih sejenis pulosari, 1 batang temu kunci, sepotong ujung kelingking kunir, sepotong temulawak sebesar jari kelingking. Semua bahan dirajang. Bersama dengan daun beluntas, masukkan ke dalam panci yang telah diisi dengan 2 mangkok air bersih, direbus sampai mendidih dan tunggu setelah air menyusut menjadi 1/3 mangkok, angkatlah. Ambillah air godokan tersebut dan minum selagi hangat
2. langsing tapi montok
Kebiasaan para wanita Madura adalah meminum air sedikit mungkin, sehabis makan minumlah beberapa teguk saja, dengan membatasi meminum air, tubuh akan tetap langsing dan tak bisa gemuk. Tetapi yang paling utama adalah ramuannya.
Ambillah segelas tes pahit. Daun teh ambil cukup banyak
Dan seduhlah sehingga sangat pahit. Kemudian ambil sebuah jeruk nipis yang dipotong menjadi empat, kemudian peraslah ke dalam cangkir, bang bijinya baru kemudian air jeruk nipis itu anda campurkan ke dalam air teh pahit di dalam gelas.
3. Buah dada montok
Banyak waita mengeluh karena payudaranya mulai kendur dan layu sehingga tak menarik. Untuk itu, ambillah dua buah pinang muda, buang sabuknya dan ambil dagingnya yang ditumbuk sampai halus. Campurkanlah daun lenjuhang dan daging pinang yang telah ditumbuk, tambahkan satu sendok teh garam, aduk –aduk dengan meremas, cmpurkan setengah gelas air bersih. Setelah diaduk rata, poleskan ke sekeliling buah dada yang kendur dan layu itu, seperti memakai masker.
Biarkan sampai kering baru dicuci dengan air hangat suam –suam kuku. Aktu memoleskan di sekeliling buah dada, jangan sekali –kali air ramuan tersebut mengenai putik buah dada. Ramuan ini bisa diulangi tiap tiga hari sekali.
4. Agar lebih mesra
Supaya tetap memiliki vitalitas sexual yang tinggi dan perkawinan hidup mesra bahagia, dapat dipergunakan ramuan –ramuan yang tak begitu mahal harganya.
Ambillah merica (lada) sesendok teh, sepotong ragi, dua buah jeruk nipis, sepotong besar lengkuas dan 2 potong besar jahe, sesendok teh garam. Lengkuas dan jahe diparut halus. Ragi dan lada ditumbuk sampai halus. Kemudian, campurkanlah parutan lengkuas, jahe, dengan lada dan ragi yang telah ditumbuk halus. Aduklah dengan air jeruk nipis dan garam. Saringlah dan peras, ambil airnya ambil sari ramuan itu sebanyak setengah atau sepertiga gelas dan untuk satukali minum. Ramuan ini bisa diminum oleh laki –laki dan perempuan. Tapi, ramuan ini bisa membatasi kelahiran anak.

5. Mengurangi kelahiran
Buat mereka yang sudah pusing dengan jumlah anak dan tak mau lagi mempunyai anak, dapat mempergunakan ramuan sebagai berikut.
Ambillah dua batang kunyit sepanjang tiga centimeter dengan besarnya sebesar jari kelingking. Pangganglah di atas api kecil dan jangan sampai hangus. Setelah memanggangnya kurang lebih 2-3 menit, tumbuklah kunyit itu sampai halus. Campurkan ¼ sendok teh garam dapur, beri air satu gelas. Peras dan saring lalu minum.

6. Agar tidak impotent
Untuk menyembuhkan lemah sahwat tersebut, dapat dipergunakan pengobatan tradisional yang ampuh, dalam waktu 1 bulan sudah dapat menyembuhkan.
Diperlukan 15 gram Pulosari, 2 butir kuning telur ayam, 25 butir lada hitam, 1 sendok makan madu asli, 3 siung bawang putih.
Lada atau merica hitam ditumbuk menjadi halus, kemudian bawang putih ditumbuk menjadi halus bersama –sama dengan Pulosari. Campurkan merica yang telah ditumbuk menjadi satu dengan bubuk Pulosari dan bawang putih yang telah ditumbuk halus, campurkan dua kuning telur ayam (harus ayam kampung), kocok sampai rata, baru masukkan madu 1 sendok makan. Madu ini juga harus madu asli, tapi kalau tak ada boleh juga menggunakan madu korma. Setelah diaduk rata, makanlah sampai habis setiap pagi.
7. Melenyapkan figriditas
Banyak istri yang mengalami dingin sexuil. Padahal para isteri itupun ingin sekali agar dapat menimmati kegiatan sexuilnya. Maka silahkan guakan ramuan berikut ini.
50 grm sarang burung walet, 1 butir kuning telur ayam, 20 butir merica hitam, dan 1 potong jahe sebesar ibu jari.
Sarang burung dibersihkan dari bulu –bulu burung kemudian direus di air mendidih. Jahe dirajang tipis –tipis dan halus, masukkan ke dalam rebusan sarang burung. Air dipergunaan 2 gelas belimbing, angkat dan masukkan kuning telur dan aduk rata, baru masukkan merica hitam yang telah ditumbuk halus, diaduk rata dan minumlah setiap pagi sapai 1 bulan.

8. Mencegah tensi darah naik
Agar tensi darah tetap tak naik dan selalu dalam keadaan normal, setiap dua hari minumlah parutan belimbing. Buah belimbing yang cukukp besar dan sudah setengah matang, diparut halus, kemudian diperas airnya sebanyak satu gelas. Minumlah setiap pagi hari selama sebulan, kemudian baru dua hari satu kali meminum air perasaan belimbing ini.
Janganlah pula memakan garam, walaupun Cuma sedikit. Jangan pula mencampurkan air perasan belimbing itu dengan gula pasir atau gla sirup. Hal ini tak membawa faedah yang baik untuk tensi darah anda.

9. Panas Tinggi pada anak
Jika anak menderita sakit dan tubuhnya panas menguap, terasa kering, bibirnya kering retak –retak dan mendekati gejala kejang, anda bisa engobatnya dengan tali pusarnya.
Caranya, rendam beberapa saat tali pusarnya di segelas air dan air rendaman itu kemudian minumkan pada si anak. Panas tubuh anak itu berangsur –angsur akan turun, pasti teduh. Tapi jangan lupa untuk mengeringkan kembali tali pusar anak tersebut, agar kelak jika perlu dapat dipergunakan lagi.

10. Memperbesar penis dan tetap kokoh
Ramuan ini untuk para suami, yang kebetulan memiliki buah zakar (penis) yang terlalu kecil dari ukuran normal. Bahannya adalah: dua ekor lindung, 4-5 pucuk benalu cemara, banyak terdapat di sisi batang cemara, Adas pulosari satu sendok makan, Ludah basi dua sendok makan.
Cara membuat: Lindung hidup-hidup ditetak (dipotong) batas antara tubuh dengan kepalanya, ambil kepalanya saja. Pangganglah kedua kepala lindung tersebut di atas api sampai menjadi bubuk yang halus. Adas Pulosari denga pucuk daun benalu cemara ditumbuk menjadi satu. Kemudian saring , ambil sari airnya, kurang lebih ¼ cangkir. Campurkan menjadi satu dengan bubuk kepala lindung sebanyak ½ sendok the, sisa yang lain digunakan besok. Aduk sampai rata, campurkan ludah basi (ludah yang diambil waktu terbangun tidur pagi hari), aduk yang rata.pergunakan bahan ramuan ini untuk mengurut batang zakar. Caranya mengurutnya harus dari atas ke pucuk (ujung) zakar, yaitu mengurut menurun. Lamaya pengurutan selama 10 enit dan bahan ramuan itu untuk satu kali pakai.

11. Agar mudah orgasme
Supaya wanita muda orgasme, dapat mempergunakan ramuan: Adas pulosari sebanyak dua sendok makan, madu 2 sendok makan, kuning telur 2 butir, daun pepaya tiga lembar, dipilih yang masih muda tai jangan pucuknya, merica hitam 10 butir.
Merica ditumbuksampai halus bersama dengan adas pulosari. Campurkan dengan kuning telur. Daun pepaya ditumbuk dan diremas kemudian peras dalam sehelai kain halus diambil airnya, campurkan dengan madu, diaduk sampai rata, barulah campurkan dengan madu. Seminggu sekali meminumnya.

12. memperkokoh penis
Agar penis lebih kokoh dan tegak kuat kaku, maka bisa dipergunakan daun jarak dan daun jerk nipis, yang ditumbuk sampai halus, kemudian borehkan pada batang penis selama setengah jam. Lakukan setiap waktu terbangun tidur.

(bersambung)

Minggu, 08 November 2009

Sejarah Televisi

Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Kencana,2005 Jakarta

Suatu hari di tahun 1992, seorang remaja berusia 15 tahun, Philo Farnsworth mengemudikan sebuah traktor maju mundur mengikuti alur yang ada di sebuah lading di Idaho,AS. Gambar yang dihasilkan menginspirasi Farnsworth untuk menciptakan serangkaian gambar elektronik sebagaimana dalam alur ladang. Pada tahun 1927 Farrnsworth dan AT&T mendemosntrasikan penemuan televisi di hadapan publik. Sejak saat itu, televisi menjadi media massa.
Pertanyaan yang kemudian menarik untuk dielaborasi adalah: “Kapan pertama kali penyiaran televisi diadakan?” jawaban atas pertanyaan tersebut akan sangat realtif dan terkait bagaimana kita mendefiniskan televisi, penyiaran dan pertama. Televisi tidak ditemkan oleh satu orang, namun atas penemuan berbagai orang baik yang bekerja sendiri atau dalam tim. Straubhaard (2002;229) misalnya mengatakan bahwa penyiaran televisi pertama dilakukan oleh Charles Jenkins (AS) dan John Logie Baird ketika mereka beekrja secara terpisah untuk melakukan uji coba transmisi siaran pada tahun 1925.
Penyiaran televisi ke rumah pertama dilakukan pada tahun 1928 secara terbatas ke rumah tiga orang eksekutif General Electric, menggunakan alat yang sangat sederhana. Sedangkan penyiaran televisi secara elektrik pertama kali dilakukan pada tahun 1936 oleh British Broadcasting Corporation. Sedangkan di Jerman penyiaran TV pertama kali terjadi pada tanggal 11 Mei 1939. Stasiun televisi itu kemudian diberi nama Nipko, sebagai penghargaan terhadap Paul Nipko, ilmuwan terkenal Jerman dan salah penemu alat televisi.
Penyiaran televisi pertama kali di AS sendiri baru dilakukan pada tahun 1939 secara berlangganan oleh NBC dan CBS. Baik NBC dan CBS sama memulai penyiaran secara komersial. Hal ini berbeda dengan perkembangan TV di Indonesia, dimana penyiaran dimulai dari TV public (TVRI), baru kemudian diikuti oleh stasiun TV komersial (dengan munculnya RCTI). NBC memulai uji coba penyiaran pada bulan April 1935, dari atas gedung Empire State Building. Sementara CBS baru pada tahun1937 mengalokasikan dana US$2 juta untuk melakukan uji coba system TV, dan berhasil melakukan siaran public pada tahun 1939.
Perkembangan televisi terhambat selama Perang Dunia II, karena bahan baku komponen pesawat televisi dialokasikan ke industri alat perang. Setelah perang selesai pada tahun 1945, penyiaran televisi kembali menggeliat. Ketika itu AT&T menemukan teknologi baru penyiaran jaringan televiasi dengan kabel coaxical dengan menu utama seputar olahraga.
Pada tahun 1948 telah ada satu juga set televisi di AS dengan stasiun mencapai 50 buah. Atas pertimbangan banyaknya jumlah stasiun televisi FCC (Federal Communication Comision) lalu menghentikan izin operasional stasiun baru. Setelah frekuensi ditata ulang, FCC kembali mengizinkan operasionalisasi siaran stasiun baru. Stasiun TV pun melonjak menjadi 108 buah empat tahun setelah pembekuan. Jumlah pesawat televisi juga meroket hingga mencapai 15 juta pada tahun 1952.
Perkembangan televisi
Usulan untuk memperkenalkan televisi muncul jauh di tahun 1953, dari sebuah bagian Departemen Penerangan, didorog oleh perusahaan-perusahaan AS, Inggris, Jerman, Jepang, yang berlomba-lomba menjual hardware-nya. Menjelang Asian Games ke-4 di Jakarta pada 1962, Soekarno dan cabinet akhirnya yakin akan perlunya televisi, dengan alasan reputasi internasional Indonesia tergantung pada Pekan Olahraga yang disiarkan, terutama ke Jepang (yang telah memiliki televisi sejak awal 1950-an).
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah kordinasi urusan proyek Asean Games IV. TAnggal 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan SK Menpen No. 20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T). satu tahun sebelum Sk Menpen tersebut, sebenarnya telah ada ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960, yang dalam Bab I lampiran A dinyatakan pentingnya pembangunan siara televisi untuk kepentingan pendidikan nasional (Dirjen RTF,1995:88).
Pada 23 Oktober 1961, Presiden Soekarno yang sedang berada di Wina mengirimkan teleks kepada Menpen Maladi untuk segera menyiapkan proyek televisi (saat itu waktu persiapan hanya tinggal 10 bulan) dengan agenda utama: (1) membangun studio di eks AKPEN di Senayan (TVRI sekarang);(2) membangun dua pemancar; 100 watt dan 10 Kw dengan tower 80 meter; dan (3) mempersiapkan software (program) serta tenaga.
Siaran televisi dimulai dengan ahli dan peraatan Jepang serta latihan daripada ahli Ingris di bawah Organizing Committee Asian Games ke-4. Tanggal 17 Agustus 1962, TVRI mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara HUT Prolamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta, dengan pemancar cadangan berkekuata 100 watt. Tanggal 24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno. Indonesia menjadi negara keempat di Asia yang memiliki siaran televisi, setelah Jepang, Filipina, dan Thailand (Panjaitan,1999:3)
Selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 1963, dikeluarkan Keppres No.215/1963 tentang pembentukan Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden RI. Pada Bab I Pasal 3 Kepres tersebut dikatakan bahwa Yayasan TVRI merupakan pengelola tunggal pertelevisian di seluruh Indonesia. Sementara Pasal 4 dan Pasal 5 menjelaskan bahwa, “keberadaan TVRI ditujukan sebagai alat hubung masyarakat dalam melaksanakan pembangunan mental, khususnya manusia sosialis Indonesia”.
Untuk melaksanakan misi TVRI, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppress No.218 Tahun 1963 tentang Pemungutan Sumbangan Iuran untuk Membantu Pembayaran Yayasan TVRI sebagai pelengkap Keppres No.215 Tahun 1963. dengan ketentuan ini, setiap pemilik pesawat televisi di seluruh wilayah Indonesia wajib mendaftarkan pesawatnya di kantor TVRI Kompleks Gelora Bung Karno, sebesar Rp 300,- tiap pesawat. Sedangkan untuk pesawat penerima televisi digunakan oleh dan untuk instansi yang berwenang menyelenggarakan siaran televisi atau menyediakan televisi umum serta pesawat televisi yang merupakan barang dagangan, tidak terkena wajib iuran tersebut.
Pemerintah lalu mengeluarkan Keputusan Menteri Penerangan No.121/Kep/ Menpen/1969 yang mengatakan bahwa apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan iuran, pesawat televisi dikenai denda sebesar 25% dari total iuran yang harus dibayar. Apabila terjadi penunggakan selama tiga bulan secara berturut-turut maka pesawat televisi disegel, atau bahkan pesawat televisi dapat disita pihak berwenang (lihat Panjaitan,1999:88).
Tahun 1963 TVRI mulai merintis pembangunan stasiun daerah, yang dimulai dengan Stasiun Yogyakarta. Stasiun bari ini mulai siaran pada akhir tahun 1964. segera setelah itu, TVRI berturut-turut mendirikan Stasiun Medan, Surabaya, Makasar, Manado, dan Denpasar.
Tahun 1974, TVRI diubah menjadi salah satu bagian dari organisasi dan tata kerja Departemen Penerangan, yang diberi status Direktorat, langsung bertanggung jawab pada Direktur Jenderal Radio, TV dan Film Departemen Penerangan RI. Sebagai alat komunikasi pemerintah, tugas TVRI adalah untuk menyampaikan policy pemerintah kepada rakyat. Satu tahun kemudian, dikeluarkan SK Menpen No.55 Bahan Siaran/KEP/Menpen/1975, TVRI memiliki status ganda yaitu selain sebagai Yayasan Televisi RI juga sebagai Direktorat Televisi, sedang manajemen yang diterapkan yaitu manajemen perkantoran/ birokrasi.
Memasuki tahun 1975, selain berstatus sebagai yayasan, TVRI juga ditetapkan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Penerangan dengan diterbitkannya Sk Menteri Penerangan No.55B Tahun 1975, yang kemudian diperbarui oleh SK menpen No.230A tahun 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Penerangan yang di dalamnya mengatur Direktorat Televisi yakni di bawah Direktorat Jenderal RTF.
Pada 1976, Indonesia meluncurkan sebuah satelit siaran domestic Palapa, diikuti pada 1983 dengan Satelit Palapa B2. teknologinya memang Amerika, namun nama satelitnya merupakan symbol Jawa, atau tepatnya diambil dari sumpah Gajah Mada, Mahapatih Kerajaan Majapahit Abad XIV di Jawa Tengah. Satu tahun setelah peluncuran Palapa I, secara bertahap di beberapa ibu kota provinsi dibentuklah stasiun-stasiun produsi keliling atau SPK, yang berfungsi sebagai perwakilan di daerah, bertugas memproduksi dan merekam paket acara untuk dikirim dan disiarkan melalui TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Di samping itu, TVRI kemudian menjadikan stasiun daerah menjadi stasiun relai dari TVRI Jakarta.
Jika dibuat periodisasi perkembangan TVRI, maka paling sedikit kita bisa membagi menjadi tiga. Pertama, era 1962 sampai 1975. TVRI yang terlahir secara formal 24 Agustus 1962, ditetapkan badan hukumnya sebagai Yayaan melalui Keppres RI No.215/1963 pada 20 Oktober 1963. kedua, status hokum era 1975 hingga 1999. TVRI pada periode ini memiliki dua peran, yakni sebagai yayasan dan juga sebagai Unit Pelaksana Tekhnis Departemen Penerangan. Ketiga, era reformasi. Setelah beberapa waktu statusnya mengambang seiring dengan dilikuidasinya Deppen, berdasarkan SK Presiden RI No.335/M/1999 tentang Pembentukan Kabinet PErsatuan Nasional.
Likuidasi Departemen Penerangan berimplikasi pada ketidakjelasan status TVRI. Betul bahwa melalui PP No.153 Tahun 1999 pemerintah menetapkan Badan Informasi dan Komunikasi Nasional sebagai pengganti Deppen, tetapi tidak termasuk dalam asset BIKN. Kondisi ketidakjelasan status hokum TVRI tersebut kemudian diatasi dengan dikeluarkannya PP No.36 Tahun 2000. dalam regulasi yang dikeluarkan pada tanggal 7 Juni 2000 tersebut dikatakan bahwa TVRI berbadan hukum Perusahaan Jawatan (Perjan).
Terhitung 15 April 2003, pemerintah lalu mengalihkan badan hukum TVRI menjadi perseroan (Sinar Harapan,16/04/03). Penandatangan akta pendirian dan anggaran dasar PT TVRI ini mempertegas PP No.9 Tahun 2000 yang hakikatnya merupakan izin prinsip mengenai pengalihan status dari Perusahaan Jawatan ke Perseroan Terbatas. Badan hokum terakhir, memungkinkan menempatkan orientasi TVRI lebih pada raah komersial, walaupun terbukti bahwa hingga tulisan ini disusun perolehan iklan TVRI sangat kecil bila dibandingkan dengan stasiun swasta.
Televisi Swasta
Runtuhnya monopoli televise oleh pemerintah seperti di Indonesia merupakan tren internasional pada 190-an, seperti juga terjadi di Malaysia dan kemudian di Singapura (Sen& Hill, 2000:129)
Pada November 1988 RCTI, televisi swasta pertama di Indonesia, mulai dengan suatu masa percobaan TV-bayar (pay-television) di Jakarta. Stasiun swasta ini adalah milik Bambang Trihatmojo, dari kelompok bisnis Bimantara. RCTI melakukan siaran setelah mengantongi izin prinsip dari Departemen Penerangan c.q. Direktur Televisi/ Direktur Yayasan TVRI tanggal 28 Oktober 1987 No.557/DIR/TV/1987 untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan Siaran Saluran Terbatas (SST) dalam wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Dalam peraturan tersebut, disepakati bahwa jangka waktu pelaksanaan SST adalah 20 tahun, dengan wilayah jangkauan di Jakarta dan sekitarnya. SST tidak diperkenankan melaksanakan siaran warta berita sendiri, tapi wajib merelai siaran berita TVRI serta siaran-siaran resmi pemerintah. Untuk tahap pertama, waktu siaran SST maksimum 18 jam per hari. Pada tahun 1990/1991, RCTI mengudara selama 12 jam per hari, sebanyak 12% di antaranya merupakan acara produksi nasional.
Untuk mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan siaran seiring dengan munculnya stasiun swasta, maka dibentuk Komisi Penyiaran, beranggotakan unsure-unsur RCTI dan TVRI (Panjaitan,1999:25). Komisi ini selanjutnya mentapkan bahwa pola acara RCTI adlah 10% untuk siaran berita pemerintah, 20% untuk siaran pendidikan, agama, dan kebudayaan, 55% untuk siaran hiburan dan olahraga, sisanya 15% untuk siaran niaga. RCTI juga diberi kewajiban memberikan 12,5% pendapatan iklan kepada Yayasan TVRI.
Berdasarkan izin prinsip Dirjen RTF No.1271D Tahun 1990, RCTI Jakarta diizinkan melakukan siaran tanpa decoder. RCTI pun berubah menjadi Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Umum (SPTSU), dengan jam siaran tak terbatas. Dalam peraturan baru tersebut, jumlah siaran iklan ditetapkan menjadi 20% total siaran.
Satu tahun kemudian, RCTI diperbolehkan menggunakan menggunakan Satelit Palapa dengan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa B2P, sehingga pemilik antenna parabola di seluruh Indonesia dapat menyaksikan siaran RCTI Jakarta dengan jelas. Berdasarkan izin prinsip dari Departemen Penerangan c.q. Dirjen RTF No.205 Tahun 1993 tentang izin siaran nasional, RCTI kemudian diperbolehkan menyelenggarakan siaran nasional dengan ketentuan siaran nasional RCTI berkedudukan di Jakarta.
Perkembangan RCTI dan semakin besarnya peluan bisnis di televise mendorong pendirian stasiun swasta lain. Pada 1989, setelah keluar izin prinsip Departemen Penerangan c.q. Dierjen RTF No.206/RTF/K/I/1993, Surya Citra Televisi (SCTV) yang merupakan televise swasta kedua mengudara dari Surabaya. 80% saham perusahaan dikontrol oleh Henri Pribadi, seorang pengusaha etnis China yang memiliki hubungan dekat dengan saudara Soeharto, Sudwikatmono. Sudwikatmono sendiri memiliki 20%, saham sisanya.
Dua tahun setelah SCTV, berdiri Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang mulai beroperasi pada Desember 1990, dengan menyewa fasilitas transmisi TVRI. TPI mendapat izin prinsip dari Departemen Penerangan c.q. Dierjen RTF No.17B/RTF/K/VIII/1990. pengoperasian TPI iresmikan oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di studio XII TVRI stasiun Jakarta Pusat. Mula-mula TPI hanya melakukan siaran pagi selama 4,5 jam. Sebagai tambahan atas kurikulum sekolah dan perguruan tinggi, namun dengan cepat TPI menambah jam siaeran menjadi 8 jam sehari, dengan hanya 38% bermuatan pendidikan. Anak perempuan Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) memiliki sebagian besar saham TPI.
Profil TPI yang dinyatakan sebagai televise pendidikan dan dijalankan oleh organisasi yang katanya non-profit, memungkinkannya menggunakan fasilitas TVRI. Ini berarti TPI daopat melakukan siaran secara nasional, sementara dua saluran televise swasta yang lain, RCTI dan SCTV, pada awalnya dibatasi hanya wilayah Jakarta dan Surabaya saja. Dalam waktu satu tahun siaran, penghasilan iklan TPI telah mengalahkan RCTI. Pada 1993, deregulasi lebih lanjut memungkinkan seluruh stasiun televise swasta melakukan siaran ke seluruh Indonesia melalui Satelit Palapa, sehingga dapat diterima dengan antenna parabola di seluruh negeri dan di luar negeri. Komposisi kepemilikan saham RCTI dan TPI mengalami perubahan dengan masuknya perusahaan Bhakti Investama sebagai salah satu pemilik modal (lihat Kompas, 4 Agustus 2004).
Dua stasiun nasional kemudian menyusul muncul; Anteve dengan izin Departemen Penerangan c.q. Dierjen RTF No.207/RTF/K/I/1993 (mulai siaran pada tahun yang sama). Tahun yang sala Departemen Penerangan mengeluarkan izin prinsip bagi Indosiar melalui izin prinsip No.208/RTF/K/I/1993. indosiar mulai siaran 1995. Indosiar adalah bagian dari Salim group, salah satu konglomerat etnis China terbesar yang dipimpin oleh Lim Sioe Liong, sahabat lama Presiden Soeharto. Anteve (Andalas Televisi), tadinya akan dibatasi di Sumatera Barat sesuai izin awalnya, namun pada kenyataannya, seperti stasiun lainnya, Anteve bersiaran dari Jakarta. Anteve sebagian dimiliki Bakri Group dan sebagian lagi oleh Agung Laksono.

Kamis, 05 November 2009

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Bab V merupakan bagian terakhir atau bagian penutup dari penulisan. Dalam bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan dari hasil penelitian sekaligus pula akan diungkapkan saran –saran yang dapat dijadikan rujukan bersama dalam memahami persoalan dalam penelitian.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kelima media online di tiap negara Asean dalam memberikan informasi berbeda tiap porsinya. Secara umum, baik dari jenis informasi, jumlah halaman, waktu penerbitan, angle, dan penulis informasi, masih didominasi oleh media online Indonesia, yaitu The Jakarta Post (TJP) dan porsi informasi terkait masalah human trafficking lebih sedikit diberikan oleh media online dari Filipina, yaitu MST. Tapi, hal ini tidak menjadi kesimpulan secara mutlak karena terdapat beberapa pengkhususan. Misalnya saja, walaupun Malaysia (NST) lumayan banyak jumlah informasinya, tetapi rata –rata informasinya berasal dari luar Malaysia. Untuk MST dan NM walaupun menempati posisi jumlah informasi kelima dan kedua, tetapi mereka lebih banyak fokus pada masalah buruh, pengungsi, tenaga kerja dan migran. Masalah tenaga kerja ini memang lebih banyak dihadapi oleh Filipina dan Thailand.
2. Perhatian media online kelima negara Asean ini menggunakan indikator analisis yaitu :jenis berita straight, feature, opini, tajuk rencana, dan surat dari pembaca, bagaimana sumber berita yang ditampilkan, bagaimana keberimbangan berita (cek dan ricek, jenis fakta, cover both side, serta, pencampuran fakta dan opini informasi tersebut), tema berita apakah umum atau tidak, isu yang ada dalam satu berita menyangkut politik, kesehatan, pendidikan, agama, lingkungan, hubungan sosial masyarakat, ekonomi, pembangunan, keamanan, etnis/ suku/ kekerabatan, budaya, pemerintahan, atau isu yang lain, dan menyangkut bentuk-bentuk human trafficking yaitu, kerja paksa seks dan eksploitasi seks, pembantu rumah tangga, kerja migran, penari/penghibur/pertukaran budaya, pengantin pesanan, buruh/pekerja anak, penjualan bayi, ataukah menyebutkan human trafficking secara umum artinya tidak menyentuh secara khusus. Dari indikator ini, TJP masih lebih besar perhatiannya dalam memberikan informasi tentang human trafficking ketimbang empat media online lainnya. Bahkan media MST, VNA, dan NM cenderung memberikan perhatian yang sedikit. Alasannya karena pemberitaan mereka lebih condong kepada keberhasilan pemerintah mereka dalam upaya meminimalisir human trafficking. Tidak pada sisi korban human traffickingnya.
3. Peranan media online terhadap masalah human trafficking pun semakin diperjelas dengan menggunakan tolak ukur porsi dan perhatian media online terhadap masalah human trafficking. Hanya TJP yang betul –betul menjalankan peranannya sebagai agen perubahan dan social of control. TJP memberikan batasan yang seimbang antara pemerintah dan masyarakat dalam hal ini pembaca atau korban trafficking. Sedangkan pada empat media lainnya, peranannya masih lebih berat kepada bagaimana mengangkat pemerintah. Walaupun ada beberapa item informasi yang juga memprotes kebijakan dan tingkah laku pemerintah terhadap masalah human trafficking ini. Ini jelas pula berbeda karena dari kelima media online ini, mereka menganut sistem pers yang berbeda.
4. Menggunakan teori agenda setting media, hanya TJP yang bisa mengusung agenda atau kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam hal human trafficking. Keempat negara lainnya, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam masih berat pada agenda setting pemerintah.
5. Secara keseluruhan, kasus human trafficking di tiap negara menjadi berbeda karena dipengaruhi oleh ideologi, sistem pemerintahan, dan sistem pers yang ada. Indonesia dalam hal ini The Jakarta Post memiliki ideologi pers yang bertanggungjawab kepada masyarakat dan pemerintah. Tidak hanya mengangkat kepentingan pemerintah semata tetapi memperhatikan pula kebutuhan masyarakat dan masalah –masalah sosial masyarakat lainnya.

B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis mengemukakan saran yang juga bisa menjadi bahan masukan bagi para jurnalis, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam melakukan pemberitaan human trafficking, hendaknya media memberikan porsi yang lebih besar. Tidak hanya sekedar mengangkat kasus atau berita seremonial belaka, tetapi media hendaknya berusaha membuat isu sebagai bahan kritikan atas kebijakan pemerintah terhadap masalah ini.
2. Perhatian media tidak hanya tertuju pada satu kasus dan kemudian hanya satu kali memberitakannya. Tetapi, secara kontinue dan berusaha melakukan investigasi, agar akar permasalahan dapat diketahui.
3. Media turut serta membekali para jurnalisnya seara khusus untuk melakukan liputan tentang human trafficking. Karena pengkajian ini masuk dalam wacana jurnalisme empati.
4. Kita belum mampu mengubah sistem pers secara global. Apalagi tiap negara memiliki sistem pemerintahan yang sangat mengikat terhadap sub sistem yang lain. Untuk itu, tiap media berupaya memaksimalkan dirinya dan sumber daya manusianya agar berita atau informasi seputar human trafficking dapat dicover secara obyektif, berimbang, dan mendalam. Media juga harus mampu mengusung agenda setting secara berimbang. Sebisa mungkin mengutamakan kepentingan masyarakat.
5. Tiap media hendaknya bisa betul –betul menjalankan fungsinya sebagai agen of social control, jadi mampu mengawasi kinerja pemerintah dalam hal memberantas perdagangan manusia khususnya tenaga kerja yang berasal dari Indonesia.

Bab III Metodologi Penelitian

A. Tipe penelitian
Tipe penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah tipe deskriptif. Penelitian deskriptif adalah memaparkan situasi atau peristiwa. penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Deskriptif diartikan melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu.
Sebenarnya analisis isi lebih dikenal sebagai penelitian kuantitatif. Kuantitatif mengacu pada pengertian bahwa analisis isi berpijak pada kuantifikasi dari isi pesan komunikasi yang diteliti.
Aspek kualitatif dalam suatu analisis isi, khususnya interpretasi data, sebisa mungkin dilakukan atas dasar data yang telah ditempuh melalui proses kuantifikasi tertentu.
Suwardi dalam Genda (2006;52) mengatakan bahwa proses kuantifikasi bisa dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, tabel kontingensi, atau koefisien -korelasi, atau dalam bentuk rasio atau persentase, tergantung dari tujuan analisanya.
Ahli lain dalam Bulaeng (2000:151) mengemukakan bahwa analisis isi adalah tahap ditransformasikan, melalui aplikasi yang sistematik dan obyektif menurut ketentuan kategorisasi ke dalam data yang dapat diinterpretasi dan dibandingkan (Paisley in press).
Sementara itu, analisis isi dapat didefinisikan yang mengacu kepada sejumlah cara: (a).Sebagai bahan untuk mengklasifikasikan pengurutan lambang-lambang, (b). Sebagai dasar dari pernyataan eksplisit tentang ketentuan suatu formulasi, (c). Sebagai salah satunya pertimbangan yang dapat dipercaya yang secara teoritis berlaku sebagai penetapan peringkat untuk perbedaan kasus bagi kegunaan analisis isi, kelompok analisis dalam berbagai kategori isi pesan, (d). Sebagai alat penetapan ketentuan analisis dalam laporan pengamatan ilmiah.
Keuntungan mengaitkan analisis isi dengan peristiwa (event) dan tema, selain akan membantu mempertajam pembahasan secara tekstual dan kontekstual juga membatasi obyek telaah, sehingga tema –tema informasi human trafficking yang ditelaah dapat dipilih dan dipilah menjadi suatu data yang selanjutnya dianalisis dan diinterpretasi maknanya. Isi pesan yang akan ditelaah secara mendalam, menyangkut pemberitaan yang bertema human trafficking. Tema ini dikaitkan dengan suatu peristiwa yang menyangkut keadaan pekerja di negara Asean, seperti bagaimana kehidupan menjadi pekerja ilegal.
Selain analisi isi, penelitian ini juga menggunakan deskriptif analisis wacana. Berdasarkan level konseptual teoritis, wacana diartikan sebagai domain umum dan semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan memiliki efek dalam dunia nyata. Dalam konteks penggunaannya, wacana berarti sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu, dengan tujuan untuk mengidentifikasi struktur tertentu dalam wacana, seperti wacana politik atau sosial kemasyarakatan. Wacana jika dilihat dari metode penjelasannya merupakan suatu praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan.

B. Objek Penelitian
Pada penelitian ini, ada lima surat kabar elektronik yang dijadikan objek, yakni The Jakartapost.com (Indonesia), nst.com.my (Malaysia), mstonline.com (Filipina), nationmultimedia.com (Thailand), dan vnagency.com.vn (Vietnam). Kelima surat kabar elektronik ini dinilai penulis dapat mewakili kelima negara Asean karena mereka menampilkan informasi dalam bentuk bilingual (Inggris dan bahasa negara masing –masing). Sedangkan dari beberapa media online yang penulis dapatkan di tiap negara, lainya hanya berbahasa negaranya. Selain itu, kelima negara Asean ini diasumsikan memiliki perbedaan nilai dan kebijakan redaksional, terutama yang bersifat ideologi.

C. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh informasi mengenai masalah Human Trafficking pada lima surat kabar elektronik yaitu The Jakartapost.com (Indonesia), nst.com.my (Malaysia), mstonline.com (Filipina), nationmultimedia (Thailand), dan vnagency.com.vn (Vietnam). Diambil pada periode Juli – Desember 2006. Sebanyak 107 populasi yang merupakan tampilan informasi masing-masing terdiri atas The Jakartapost.com 33 item, nst.com.my 19 item, mstonline.com 11 item, nationmultimedia.com 30 item, dan vnagency.com.vn 14 item. Ini terdiri atas berita, opini,dan tajuk.
Adapun penentuan sampel disamakan dengan angka populasi (sampel representatif). Karena jumlah populasi tergolong kecil. Apalagi, semua data yang diambil dari masing-masing media online dirasa sangat penting.
Untuk kumpulan informasi, dipilih secara representatif terhadap semua informasi -dengan memasukkan kata “human trafficking’ pada search engine pada kelima surat kabar elektronik tadi dengan lama waktu enam bulan dengan asumsi berita dalam jangka waktu tersebut sudah cukup mewakili.

D. Teknik pengumpulan dan analisis data
1. Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:
a. Analisis Isi
Data dikumpulkan secara langsung dengan berpedoman pada masalah yang diangkat juga sesuai dengan analisis isi. Seperti yang diutarakan Klaus Krippendorff dalam Stokes (2006;58), analisis isi merupakan metode simbolik karena digunakan untuk meneliti materi (teks media) yang bersifat simbolik. Yang dianalisis adalah isi dari arsip media online yang telah dikumpulkan dan kemudian dikategorisaskan berdasarkan tema human trafficking untuk melihat porsi, perhatian, dan sejauh mana peranan media tersebut terhadap masalah human trafficking.
b. Analisis wacana
Setelah di analisis isi, beberapa item penelitian akan dikaji secara wacana yaitu dengan memperhatikan: pertama, mengenai cara-cara wacana susun, dimana komunikator berdasar atas prinsip menghasilkan pemahaman atas percakapan dan pesan-pesan lainnya, dengan cara langsung atau nonverbal, dengan melihat pesan tunggal terstruktur. Kedua, wacana dipandang sebagai aksi dalam bentuk kata-kata atau tulisan untuk mencapai suatu tujuan, dengan memperhatikan bagaimana pembicara menyusun kata-kata. Ketiga, mencari prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual berdasarkan perspektif mereka dengan tidak memperhatikan ciri atau sifat psikologis yang tersembunyi dari mereka.
Adapun yang dianalisis secara wacana adalah bagian informasi berupa opini yaitu tajuk rencana, opini/ kolom dan surat dari pembaca. Karena jumlahnya sedikit dari populasi maka diputuskan untuk menganalisanya secara wacana atau makna.
c. Wawancara
Wawancara dilakukan kepada para praktisi pers dan juga penulis salah satu informasi, terutama yang berada di Indonesia dan memahami sistem pers di negara Asean. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan sejumlah data pendukung yang diharapkan akan menguatkan analisis. Alasan memilih narasumber yang berasal dari Indonesia untuk memudahkan penulis memberikan penilaian terhadap apa yang telah diteliti. Ini juga merupkan keterbatasan karena para narasumber/ praktisi media yang berasal dari luar Indonesia sangat sulit untuk diwawancarai.

2. Teknik analisis data. Data yang terkumpul kemudian ditabulasikan berdasarkan berapa jumlah informasi, kategri tema, dan gaya penyampaian inti informasi seperti yang diurakan. Unit pengukuran adalah sejumlah item berita, reportase, dan tajuk, mengenai masalah Human Trafficking. Metode pengukuran menyangkut frekuensi item dan persentase informasi. Tidak diukur dalam sentimeter dan dibandingkan dengan total sentimeter semua tampilan informasi, tetapi hanya menganalisis posisi tampilan informasi berdasarkan jenis informasi. Misalnya berapa persentase dan frekuensi informasi yang menjadi berita maupun non berita dan berapa posisi yang menempati halaman feature.
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat mendeskripsikan berita dengan jelas dan objektif, maka akan digunakan teknik analisa data denga cara kualitatif. Persentase setiap kategori diamati, kecenderungan yang tampak dalam kategorisasi diperhatikan, kemudian hubungan antara kategori di analisis untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dan hasil kesimpulan dari penelitian ini sudah dapat diketahui.

E. Teknik Analisis
Studi ini menggunakan teknik analisis yang sudah lazim dalam teknik analisis isi media yaitu kuantitatif dan kualitatif. Hanya saja, studi ini mencoba menggabungkan kedua analisis tersebut. Ada dua alasan kenapa kedua teknik ini digabung. Pertama, alasan bersifat teknis menyangkut pernyataan permasalahan studi ini relatif kompleks. Artinya jika hanya menggunakan salah satu teknik analisis saja tidak akan ditemukan jawaban yang signifikan. Kedua, alasan yang bersifat paradigmatik. Ilmu komunikasi merupakan multi paradigma science (Hidayat dalam Genda (2006;64)). Artinya, komunikasi merupakan suatu bidang ilmu yang pada waktu bersamaan menampilkan sejumlah paradigma klasik karena melibatkan value judgements dan keberpihakan pada nilai-nilai tertentu (kritis).
Untuk analisis kuantitatif digunakan tabel-tabel persentase, pada tabel-tabel tersebut sudah terdapat data frekuensi dan persentase kemudian diinterpretasi secara kualitatif. Kedua, analisis kualitatif. Digunakan tahapan sebagai berikut: berupa berita, reportase dan rubrik lainnya diidentifikasi berdasarkan peristiwa dan diurutkan berdasarkan tanggal pemuatan. Selanjutnya, pilihan kata yang tersebar pada kepala berita, judul, lead, atau seluruh isi teks, mulai diidentifikasi pilihan kata dan wacana mana yang memberikan kecenderungan sikap media terhadap peristiwa tersebut. Studi ini juga mencoba menelaah pernyataan tokoh, yakni sumber informasi, penulis dan jurnalis.
Teknik penelitian yang digunakan juga adalah teknik analisis isi dengan mengcoding. Yaitu suatu data mentah yang secara sistematis ditransformasikan dan dikelompokkan ke dalam unit-unit yang memungkinkan membuat deskripsi karakteristik isi yang relevan. Setelah itu, sesuai dengan definisi Berelson (1952), koding ini kemudian diinterpretasikan dan dibandingkan (paisley in press).

F. Realibilitas Data
Untuk mengetahui kesesuaian data yang diperoleh dengan objektifitas tertentu, peneliti menggunakan metode Intercoder reliability. Suatu cara pengujian yang dilakukan seorang kemudian dilakukan orang lain yang hasilnya diharapkan sama.
Peneliti memakai dua orang Koder yang dianggap memahami bidang yang diteliti ini. Formula yang digunakan dalam melakukan intercoder reliability adalah formula Holsti.





G. Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitiannya, dapat digambarkan sebagai berikut:

variabel bebas variabel terikat












H. Definisi operasional
Untuk menghindari salah pengertian pada istilah dalam penelitian ini, maka perlu adanya batasan-batasan pengertian yaitu, sebagai berikut:
1. Porsi yaitu jumlah item atau kategorisasi yang diberikan oleh media online yang bisa engukur sejauh mna porsi informasi disediakan oleh tiap media. Tolak ukurnya adalah jumlah informasi, jumlah halaman, penepatan pada isu apa dan jenis –jenisnya.
2. Perhatian dan peranan yaitu bagaimana bentuk perhatian media online terhadap kasus human trafficking. Ini dapat diukur melalui, analisa berita sraight dan feature, nalisa pini berupa tajuk rencana, opini/ kolom, dan SDP. Dilihat pula dari sumber informasi yang ditampilkan, cek dan ricek, cover both side, serta ada tidaknya pencampuran opini, kemudian tema informasi, isu yang berhubungan dengan bidang. Sedangkan peranan media online adalah bgaimana sikap dan atribusi media online dalam menyikapi dan menindaklajuti kasus human trafficking terhadap warga negaranya dan yang terjadi negaranya, dilihat dari teori pers yang mereka jalankan serta agenda setting.
3. Human trafficking merupakan sebuah bentuk perbudakan modern. Adapun bentuk human trafficking adalah; kerja paksa seks dan ekspoitasi seks; pembantu rumah tangga; kerja migran; penari, penghibur, dan pertukaran budaya; pengantin pesanan; buruh/ pekerja anak; dan penjualan bayi.
4. Surat kabar elektronik bisa juga disebut media online. Surat kabar elektronik ini merupakan penyegaran dari surat kabar tradisional dalam bentuk elektronik atau dikenal dengan istilah online yang bisa diakses via internet. Ada lima yang dianalisis yaitu TJP (Indonesia), NST (Malaysia), MST (Filipina), NM (Thaland, dan VNA (Vietnam).
5. ASEAN (Association Of Southeast Asian Nations) adalah negara-negara yang berada di wilayah Asia Tenggara. Dalam penelitian ini lima negara yang akan diteliti media online-nya yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
6. Analisis Isi adalah suatu metode atau teknik untuk membuat kesimpulan yang objektif dan pengenalan secara sistematis tentang karakteristik dan pesan.
7. Analisis wacana adalah sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu, dengan tujuan untuk mengidentifikasi struktur tertentu, misalnya politik atau sosial kemsyarakatan.
6. Berita adalah laporan tentang gagasan, kejadian, atau konflik yang baru terjadi, yang menarik bagi konsumen berita dan menguntungkan bagi pembuat berita itu sendiri.

BAB II Tinjauan Pustaka

A. Kajian Konsep dan Teori
I. Komunikasi dan Media Massa
Cangara (2005:06) memaparkan, manusia berkomunikasi dengan alat cetak mencetak berlangsung kira-kira 500 tahun, kemudian manusia terampil berkomunikasi melalui getaran-getaran elektronik. Keterampilan ini secara berturut-turut dimulai dengan penemuan fotografi di atas besi plat (1827), telegraf oleh Samuel Morse (1844), telegraf cetak oleh David Hughes (1955), Cable Trans-Atlantik (1866), telepon oleh Alexander Graham Bell (1876), radio telegraf oleh Guglielmo Marconi (1895), kamera film oleh Auguste dan Louis Lumiere (1895) serta keberhasilan Amerika mendemonstrasikan pesawat TV hitam putih dalam tahun 1927.
Lima puluh tahun sesudah Amerika berhasil mendemonstrasikan pesawat TV, kecakapan manusia berkomunikasi memasuki generasi keempat melalui teknologi komunikasi yang lebih canggih. Rogers menyebutnya sebagai generasi media interaktif. Dalam kurun waktu yang relatif singkat berbagai macam teknologi komunikasi berhasil ditemukan. Secara berturut-turut dapat dicatat komputer pertama ditemukan di Amerika Serikat dalam tahun 1942, menyusul mesin foto copy Xerox oleh Chester Carson (1946), transistor oleh laboratorium elektornik Bell (1947) dan TV berwarna dalam tahun 1951. Enam tahun kemudian Rusia berhasil meluncurkan satelit Sputnik ke angkasa luar (1957), disusul Amerika Serikat dengan berhasil meluncurkan satelit Telstar (1962). Penemuan video recorder (1968), fiber optic signal (1975), TV computer game (1976), facsimile dan cetak jarak jauh (1980), teleconference, telephoto, video telephone, video-magazine, computer modem (1985) dan terakhir telepon selular dan jaringan internet (1990).
Komunikasi menurut De Vito (1982) dalam Cangara (2005:26) pada dasarnya terbagi atas empat macam. Yaitu, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, dan komunikasi massa.
Terdapat berbagai macam pendapat tentang pengertian komunikasi massa. Ada yang menilai dari segmen khalayaknya, dari segi medianya dan adapula dari sifat pesannya. Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung dimana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televisi, surat kabar dan film.
Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi sebelumnya, maka komunikasi massa memiliki ciri tersendiri. Sifat pesannya terbuka dengan khalayak yang variatif, baik dari segi usia, agama, suku, pekerjaan, maupun dari segi kebutuhan. Ciri lain yang dimiliki komunikasi massa, ialah sumber dan penerima dihubungkan oleh saluran yang telah diproses secara mekanik. Sumber juga merupakan suatu lembaga atau institusi yang terdiri dari banyak orang, misalnya reporter, penyiar, editor, teknisi dan sebagainya. Karena itu proses penyampaian pesannya lebih formal, terencana dan lebih rumit.
Pesan komunikasi massa berlangsung satu arah dan tanggapan baliknya lambat (tertunda) dan sangat terbatas. Tetapi dengan perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat, khususnya media massa elektronik seperti radio dan televisi maka umpan balik dari khalayak bisa dilakukan dengan cepat kepada penyiar.
Selain dari itu, sifat penyebaran pesan melalui media massa berlangsung begitu cepat, serempak dan luas. Ia mampu mengatasi jarak dan waktu, serta tahan lama bila didokumentasikan. Dari segi ekonomi, biaya produksi komunikasi massa cukup mahal dan memerlukan dukungan tenaga kerja relatif banyak untuk mengelolanya.
Jika khalayak tersebar tanpa diketahui di mana mereka berada, maka biasanya digunakan media massa. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi
Karakteristik media massa ialah:
1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan, sampai pada penyajian informasi.
2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima, kalau toh terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, di mana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama.
4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat kabar, dan semacamnya.
5. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan di mana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.
Dalam komunikasi massa, pengaruh tidak begitu mudah diketahui, sebab selain sifat massa tersebar, juga sulit dimonitor pada tingkat mana pengaruh itu terjadi. Dari berbagai studi, ditemukan bahwa komunikasi massa cenderung lebih banyak mempengaruhi pengetahuan dan tingkat kesadaran seseorang, sedangkan komunikasi antarpribadi cenderung berpengaruh pada sikap dan perilaku seseorang.
Rivers (2004:19) mempetakan media massa dalam sebuah karakteristik. Pertama, sifatnya satu arah. Kedua, selalu ada proses seleksi. Setiap media memilih khalayaknya. Ketiga, karena media mampu menjangkau khalayak secara luas. Keempat, untuk meraih khalayak sebanyak mungkin, harus berusaha membidik sasaran tertentu. Kelima, komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap kondisi lingkungannya.
2. Jurnalistik dan Berita
Suatu fakta dapat dikatakan berita dalam sebuah media apabila ia mengandung nilai. Media biasanya memberitakan hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Menurut F. Fraser Bond (An Introduction to Journalism, 1961) dalam Muis (1999:27), istilah jurnalistik mencakup semua bentuk penyebaran berita bersama komentarnya untuk mencapai orang banyak (publik). Berkaitan dengan istilah jurnalistik, Muis menambahkan, semua kejadian di dunia, asalkan sifatnya penting bagi publik, dan semua pikiran, tindakan serta ide-ide, yang didorongi oleh kejadian –kejadian tersebut, menjadi bahan pemberitaan bagi wartawan. Fraser menambahkan definisi jurnalistik itu berbeda-beda karena adanya perbedaan cara memandangnya. Bagi orang yang suka berolok-olok, jurnalistik tak lebih dari sekadar sebuah usaha dagang. Sedangkan bagi para idealis, jurnalistik adalah sebuah tanggung jawab dan privilege (hak pribadi). Ada pula yang memberikan definisi sebagai tulisan yang dibayar mengenai hal-hal yang anda tidak tahu. Atau: Penyampaian informasi dari sini ke sana dengan cara teliti, dengan pengetahuan yang dalam dan cepat mencapai banyak orang. Dengan cara itu kebenaran pun dapat disampaikan kepada banyak orang dan lambat laun kebenaran itu akan menjadi lebih terang.
Fried S. Siebert (Communication in Modern Society, 1948) dalam Muis (1999:28) mengatakan bahwa media massa tak mungkin memikul semua tanggung jawab dalam penyebaran tentang kebenaran. Media hanya mungkin mengatakan banyak tentang kebenaran sehingga publik mengetahui kejadian-kejadian atau kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung. Tujuan umum media massa, menurutnya ialah membuat rakyat di seluruh dunia bisa memperoleh isi komunikasi yang memungkinkan mereka memiliki sebuah masyarakat yang damai dan produktif, dan juga yang memberikan mereka kepuasan pribadi.
Media massa akhirnya memiliki kewajiban menciptakan sebuah masyarakat yang bebas, damai dan produktif serta menjamin kepuasan pribadi. Media massa ternyata mampu membantu kepentingan masyarakat dalam masalah human trafficking. Dijabarkan Harold D Laswell (The communication of Idea, 1948) dalam Muis (1999:28) bahwa media massa bisa berperan mengawasi lingkungan kita. Yaitu mengungkapkan berbagai ancaman dan peluang yang mempengaruhi nilai-nilai komunitas. Untuk masalah human trafficking, media massa bisa memberikan saran bagaimana mengendalikan jumlah tenaga kerja yang dikirim dan bagaimana model perlindungan mereka. Itu berarti pemberitaan media massa bisa menghubungkan anggota-anggota masyarakat dengan lingkungannya.
Fraser Bond dalam Muis (1999:28) menjelaskan bahwa gagasan mengenai layanan kepada publik ada dalam ajaran dan praksis jurnalistik. Pertama-tama jurnalistik berusaha mengingatkan khalayaknya tentang makna penting suatu kejadian. Cara yang biasa ditempuh menurut Bond ialah dengan memberikan informasi kepada khalayaknya (audience) dalam bentuk tajuk rencana. Meskipun Bond tidak merincinya sudah tentu bisa pula hal itu dilakukan melalui opini wartawan (by line story) atau berita interpretasi, jurnalistik essay, dan jurnalistik proses.
Ada dua prinsip filsafat jurnalistik yang mendasar menurut Muis (1999:30). Yaitu, publik harus diberikan apa yang mereka inginkan, dan publik juga harus diberikan informasi yang mengandung kebenaran karena hal itu memang dibutuhkan publik. Karena itu, jurnalistik memerlukan jaminan kebebasan.
Ada empat alasan bagi keberadaan jurnalistik menurut Frase Bond dalam Muis (1999:33). Yaitu memberikan informasi, membuat interpretasi, memberikan tuntutan dan untuk menyajikan hiburan. Kurang lebih sama dengan fungsi pers .

3. Media Online (Surat Kabar Elektronik)
Untuk mengetahui apa sebenarnya media online itu, terlebih dahulu kita pahami apa itu media. Media menurut Hafied (1999:119) adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologi memandang bahwa dalam komunikasi antarmanusia, maka media yang paling dominan dalam berkomunikasi adalah pancaindera manusia seperti mata dan telinga. Pesan-pesan yang diterima pancaindera selanjutnya diproses dalam pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan. Tetapi media yang dimaksud, ialah media yang digolongkan atas empat macam, yakni media antarpribadi, media kelompok, media publik, dan media massa.
Masalah globalisasi media massa dan informasi, sebenarnya berhadapan dengan masalah menipisnya batas-batas sistem komunikasi, budaya komunikasi, dan hukum komunikasi di masing-masing negara. Di bidang media dan informasi globalisasi menciptakan keseragaman pemberitaan serta preferensi acara liputan. Masing-masing sistem media seakan-akan menjadi bagian dari suatu jaringan informasi dan komunikasi internasional. Kegemaran masyarakat di seluruh dunia untuk memilih berita-berita luar negeri yang dipandang penting cenderung seragam (audience agenda). Dengan sendirinya, sistem media di masing-masing negara juga cenderung seragam dalam hal menentukan kejadian yang dipandang penting untuk diliput (media agenda). Menurut istilah John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1991) dalam Muis (2001:47), dunia kini menjadi sebuah global village.
Di awal Milenium III kalangan pakar teknologi komunikasi umumnya, berpendapat bahwa akan terjadi pemekaran jenis-jenis media komunikasi massa (Muis, 2001:04). Akan muncul jenis-jenis media baru yang sifatnya semakin canggih. Volume pesan-pesannya semakin besar dan kecepatannya kian tinggi.
Media online dianggap sebagai media masa depan, kala itu. Media online sudah mulai dikenal oleh masyarakat banyak sebagai sumber yang terpercaya. untuk beberapa kalangan tertentu, informasi dianggap sebagai sumber informasi aktual dan tercepat.
Kehadiran media online ini juga mengubah perilaku pembaca surat kabar. Survei yang dibuat oleh Jupiter sebuah perusahaan konsultan, menunjukkan bahwa 12 persen orang melihat breaking news melalui internet dulu, lebih banyak ketimbang melalui radio. Tetapi mereka tidak menginginkan artikel panjang, mereka ingin judul saja dan berita yang di update rutin (Kompas,3/10/1999).
Surat kabar elektronik ini sebenarnya lahir dalam istilah media kembar. Menurut Everett M Rogers (1972) dalam Muis (2001:143) sebetulnya terhadap media massa “konvensional” khalayak pun tak terlalu pasif karena khalayak memiliki sifat selektif baik untuk mendengar, menonton, atau membaca (selective exposure), keinginan untuk memberikan perhatian terhadap pesan (selective perception) maupun keinginan untuk mengingat pesan yang diterima (selective retention).
Terlepas dari itu apakah cybercommunication (jaringan internet global) itu bukan media massa atau media massa, yang penting adalah cirinya yang unik tersebut, dan menjadi referensi informasi serta saluran tambahan bagi media massa formal (Koran online atau media online).
Dalam konteks itu muncullah apa yang disebut media kembar. Dari segi hukum justru berita media kembar itu tetap bisa menjadi masalah. Bisa terjadi delik pers atau delik media massa. Pesan atau informasi yang anonim dari jaringan internet yang dirujuk oleh media massa itu sama halnya jika media massa membuat berita sendiri. Dengan demikian kebebasan media massa konvensional (Koran, radio, TV, film berita) tetap terikat pada rambu-rambu hukum di masing-masing negara. Misalnya kasus TIME vs mantan Presiden Soeharto, yang sebagian isi beritanya mungkin saja dikutip dari berita internet (Muis, 2001:47)

4. Asean




Peace
Stability
Courage
Dynamism
Purity
Prosperity

Asean atau Association of southeast asian nations merupakan perkumpulan negara-negara di Asia Tenggara. Saat ini, jumlah negara Asean yang tercatat adalah sepuluh negara, yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Asean dibentuk pada 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh lima negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Brunei Darussalam baru bergabung pada 8 Januari 1984, Vietnam pada 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar pada 23 Juli 1997 dan Kamboja pada 30 April 1999.
Daerah Asean berkisar pada 500 juta populasi dengan total area sekitar 4,5 juta kilometer persegi dengan produk domestik bruto 700 milyar US dolar dan perdagangan sekitar US$ 850 milyar.
Adapun deklarasi negara-negara Asean yaitu bahwa mereka memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan kehidupan sosial dan pengembangan budaya pada daerah.
2. Mempromosikan kedamaian dan stabilitas regional melalui rasa saling percaya untuk keadilan dan kepastian hukum di dalam hubungan antar negara dan keloyalan pada prinsip Piagam PBB.
Pada 2003, pemimpin tiap negara Asean menyepakati bahwa Asean harus dibangun dengan tiga pilar yaitu, Asean Security community, Asean Economic Community, dan Asean Socio-cultural community.
Untuk menjaga kesinambungan di organisasi Asean, maka dibuatlah beberapa poin kerja sama diantara negara-negara Asean.
1. Program ASEAN untuk Kesejahteraan sosial, Keluarga, dan Populasi;
2. Program ASEAN untuk HIV/ AIDS;
3. Program ASEAN untuk kepedulian terhadap orang-orang tua;
4. ASEAN harus berada pada posisi aman dan berada dalam jaringan yang sehat;
5. Program ASEAN juga mempersiapkan remaja ASEAN untuk bias menopang tenaga kerja dan tantangan lain dalam globalisasi;
6. AUN atau ASEAN University network mempromosikan kolaborasi diantara 17 universitas yang ada dalam keanggotaan ASEAN;
7. Diadakan program pertukaran pelajar ASEAN, Forum Budaya Muda, dan Forum Pembicara Remaja ASEAN;
8. Membuat Kegiatan rutin Asean berupa Minggu kultur, Asean youth camp, dan kuis ASEAN;
9. Program pertukaran media ASEAN;
10. Dasar dari Environmentally Sustainable Cities (ESC) dan perjanjian ASEAN untuk batas polusi tiap negara.
Sayangnya, dalam kesepakatan yang ditetapkan Asean, tak ada yang secara implisit menyinggung mengenai masalah human trafficking. Padahal menurut Cathleen Caron (2004), negara-negara Asean memiliki angka yang tinggi dalam hal perdagangan perempuan selain Cina dan Australia.
Dalam berbagai kajian tentang isu-isu global hubungan internasional, Asia Tenggara merupakan kawasan merah maraknya perdagangan manusia (trafficking). Pengiriman manusia ke berbagai daerah di kawasan ini secara ilegal sering luput dari perhatian pihak berwenang karena si pengirim tahu betul lintasan laut yang "aman" dari penjagaan polisi laut.
Biasanya perdagangan manusia di wilayah Asean hanya sebatas masalah antarnegara saja. Seperti yang terjadi antara Malaysia dan Indonesia. Antaranews.com (23/03/07) melaporkan sekitar 19 WNI yang ketahuan, menjadi korban perdagangan manusia. Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia berhasil menyelamatkan 19 orang wanita Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia, bahkan sebagian sempat dijadikan pekerja seks komersial (PSK) di negeri jiran ini.
Dalam pemeriksaan para wanita itu terungkap bahwa mereka adalah korban penipuan perdagangan manusia dengan modus menawarkan magang kerja di hotel luar negeri. Setiap calon korban dimintai uang masing-masing Rp3,5 juta dengan alasan untuk tiket pesawat, pengurusan visa dan akomodasi selama magang kerja. Namun mereka justru bekerja nonstop selama setahun penuh tanpa libur dan diupah hanya 400 ringgit Malaysia. Dari upah itu, 50 ringgit dipotong pihak agen tenaga kerja sehingga korban hanya menerima 350 ringgit atau sekitar Rp800 ribu perbulan. Imigrasi Malaysia akhirnya melepaskan keempat WNI setelah dijelaskan bahwa mereka jadi korban perdagangan manusia.



5. Human Trafficking
Secara sederhana, trafficking adalah sebuah bentuk perbudakan modern (www.stoptrafiking.or.id). Kebanyakan korban trafficking dirayu ke kota besar atau ke luar negeri dengan janji diberi pekerjaan menarik seperti pelayan, penjaga toko dan pekerja rumah tangga, tapi malah ditipu dan dipaksa ke dalam pekerjaan yang menyiksa atau bahkan prostitusi. Siapapun bisa menjadi korban trafficking. Namun, kebanyakan korban adalah perempuan desa yang berpendidikan rendah dan anak-anak yang tidak menyadari tanda-tanda bahaya atau tidak mampu bermigrasi kerja secara aman. Mereka rentan dan mudah ditipu.
Trafficking berarti perpindahan. Jadi, artinya adalah perpindahan atau migrasi – yang berarti korban dibawa keluar dari kampung halamannya yang aman ke tempat berbahaya dan dikerjapaksakan – inilah yang membedakan trafiking dari bentuk pelanggaran hak asasi lainnya (intisari buku manual pelatihan “Derita Bisu” Bab II, stoptrafiking.or.id)
Ada beberapa bentuk trafiking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak:
Pertama, Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks – baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, Pembantu Rumah Tangga, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, beberapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.
Kedua, Pembantu Rumah Tangga (PRT) – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
Ketiga, Kerja Migran – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
Keempat, Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya – terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
Kelima, Pengantin Pesanan – terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
Keenam, Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak – terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.
Ketujuh, Trafiking/penjualan Bayi – baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.



Definisi Trafficking Menurut PBB
Definisi yang paling banyak diterima di seluruh dunia adalah definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengatakan bahwa trafiking adalah: "perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan atau penerimaan orang ini, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan seseorang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.” (Suplemen konvensi PBB mengenai kejahatan transnasional,2000)

Sebab-Sebab Terjadinya Perdagangan Manusia (Human Trafficking)
Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafficking manusia. Trafficking disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Termasuk kedalamnya adalah:
1. Kurangnya Kesadaran: Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya trafiking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
2. Kemiskinan: Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman.
3. Keinginan cepat kaya: Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat orang-orang yang bermigrasi rentan terhadap trafiking.
4. Faktor Budaya
Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya trafiking:
a. Peran Perempuan dalam Keluarga: Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka.
b. Peran Anak dalam Keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking. Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
c. Perkawinan Dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
d. Sejarah Pekerjaan karena Jeratan Hutang: Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
e. Kurangnya Pencatatan Kelahiran: Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya.
f. Kurangnya Pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
g. Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum: Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akta kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafiking.

B. Teori Pendukung
1. Dasar konseptual Analisis Isi
Analisis isi menjadi pilihan untuk teknik penelitian menemukan data dari sebuah isi media. Analisis isi menurut Siahaan dkk (2001:71) merupakan metode penelitian untuk membuat inferensi-inferensi dengan mengidentifikasi secara sistematik dan objektif karakteristik-karakteristik khusus dalam sebuah teks.
Metode ini mampu dalam hal pertama, menerima bentuk komunikasi simbolik yang relatif tak berstruktur sebagai data. Dan kedua, menganalisis gejala yang tak teramati (unobserved) melalui medium data yang berkaitan dengan gejala tersebut.
Menurut Ana Nadhya Abrar dalam Siahaan dkk (2001:71), jurnalisme memandang analisis isi sebagai metode penelitian sosial kuantitatif, digunakan dalam praktek jurnalisme presisi maka disebut pula sebagai a standard sociological technique. Analisis isi merupakan metode yang sistematik untuk menganalisis pesan, dan bagaimana pesan itu disampaikan.
Pendapat Abrar sejalan dengan definisi yang dikemukakan Fred N. Kerlinger dalam Siahaan dkk (2001:72), yakni suatu metode untuk mengkaji dan menganalisis komunikasi dengan cara sistematis, objektif, dan kuantitatif, untuk mengukur variabel.
Holsti (1969) dalam Siahaan dkk (2001;72) merumuskan lebih luas. Ia menempatkan data dalam konteks komunikasi antara pengirim dan penerima pesan, serta memandang analisis isi dalam kaitan tiga tujuan pokok, yakni pertama, mendeskripsikan karakteristik-karakteristik komunikasi dengan mengajukan pertanyaan apa, bagaimana, kepada siapa sesuatu dikatakan. Kedua, membuat inferensi-inferensi mengenai anteseden-anteseden komunikasi dengan mengajukan pertanyaan mengapa sesuatu dikatakan. Dan ketiga, membuat inferensi-inferensi mengenai akibat-akibat komunikasi dengan mengajukan pertanyaan akibat apa yang akan terjadi jika sesuatu dikatakan.
Arthur Asa Berger dalam Siahaan dkk (2001:72) memberikan definisi analisis isi tidak hanya mengenai aspek kuantifikasinya, tapi juga teknik pengambilan sampelnya. ia mengatakan, analisis isi merupakan sebuah teknik riset yang mendasarkan diri pada pengukuran (penghitungan) jumlah sesuatu (kekerasan, persentase orang negro, wanita, tipe-tipe profesional, atau apapun) melalui random sampling dari beberapa bentuk komunikasi (seperti komik, komedi situasi, opera sabun, news shows, dan sebagainya. Asumsi dasar yang implisit dalam analisis isi adalah sebuah investigasi terhadap pesan dan komunikasi akan memberi wawasan mengenai orang-orang yang menerima pesan tersebut.
Analisis isi didesain untuk mendapatkan sebuah perhitungan objektif, terukur, dan terifikasi terhadap isi pesan yang manifes, dengan menganalisis tatanan denotatif penanda (signification). Analisis isi sangat baik bila digunakan dalam skala besar -semakin besar unit analisisnya, semakin akurat.
Analisis Isi dalam Genda (2006:15) sebenarnya jauh lebih tua dari zamannya. jauh sebelum teknik ini diperkenalkan dengan nama content analysis, beberapa sosiolog, sejarawan, dan kritikus sastra telah memakai teknik content analysis, misalnya Max Weber (the protestan ethic and the spirit of capitalism), William I. thomas dan Florian Znaniecki (the polish peasant in Europe and America), Pitirim A. Sorokin (social and cultural dynamics). Content analysis -seperti didefinisikan Bernard Berelson (1952) sebagai teknik riset yang mendiskripsikan isi komunikasi secara objektif, sistematik dan kuantitatif -pertama kali digunakan mahasiswa publisistik di Amerika Serikat yakni M.M Willey, the country newspaper, a study of socialization and newspaper content, 1926.
Suwardi dalam Genda (2006:53) mengutarakan salah satu cara analisis isi adalah manifest content, merupakan analisis isi yang dilakukan terhadap suatu pesan komunikasi secara eksplisit ada, bukan yang implisit atau apa yang menurut interpretasi si peneliti makna yang terkandung di balik isi pesan yang bersangkutan. Ini berarti, suatu analisis isi dilakukan sesuai dengan apa yang tertulis atau tercetak dalam media yang bersangkutan. Cara ini pernah diutarakan oleh Lasswell dan Leites. Keduanya berpendapat bahwa dengan manifest dimaksud : membaca seperti apa adanya dan yang jelas dinyatakan secara terbuka di dalam media yang diamati.
Penelitian yang telaahnya mendalam terhadap tema dan peristiwa (even) suatu berita dikaitkan, menurut Suwardi dalam Genda (2006:53) penelitian demikian tidaklah berdiri sendiri di dalam analisisnya, karena suatu analisis isi akan kurang makna interpretasinya apabila tidak dikaitkan dengan situasi lingkungan pada saat suatu peristiwa terjadi.
Oleh karena itu pendekatan yang sifatnya analisis isi didukung oleh suatu analisis yang sifatnya tidak tekstual saja, tetapi juga kontekstual. Analisis tekstual menurut Suwardi merupakan suatu analisis isi yang menggantungkan sumber analisisnya dari apa yang tertulis atau tercetak dari media yang diamati.
Sedangkan yang dimaksud analisis kontekstual adalah analisis yang mendasarkan sumber analisisnya tidak hanya dari apa yang tertulis atau tercetak tetapi juga dikaitkan dengan event pada waktu suatu peristiwa terjadi. Artinya, bagaimana situasi lingkungan mempengaruhi penulisan suatu berita dan apa yang tersirat di dalamnya.
Pelaksanaan analisis isi haruslah obyektif dan sistematik, kedua syarat tersebut di atas membedakan antara analisis isi dengan pembacaan dokumen sehari-hari. Sistematisasi menghendaki penerapan taat asas (konsisten) dalam pembuatan kategori-kategori isi.
Analisis isi digunakan apabila menyangkut 3 permasalahan sebagai berikut:
a. Data yang tersedia sebagian besar terdiri atas bahan-bahan yang terdokumentasi. Para analisis yang mampu secara langsung mencapai subjek-subjek yang akan diteliti mempertimbangkan teknik penelitian lain. Tetapi bila terdapat keterbatasan waktu dan jarak yang tidak memungkinkan mencapai subjek maka analisis isi patut dipertimbangkan. Terlebih jika orang yang aka diteliti telah meninggal. Analisis isi juga dapat menjadi pelengkap sumber data. Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan hasil interviu dan kuesioner dengan hasil analisis isi.
b. Memberikan unsur-unsur teori data tersebut karena bahasa yang diperlukan oleh subjek yang diteliti sangat sulit dipahami penganalisaan hasil interviu “proyective test” data dokumentasi psikiatris.
c. Si peneliti memiliki kemampuan teknis karena seringkali volume materi melebihi kemampuan meneliti untuk menanganinya dalam penelitian mengenai surat kabar, majalah film, radio, buku. Yang sering dianalisis seluruh data yang relevan maka cara terbaik adalah menganalisa “sampel” dari materi tersebut.

Menurut Wazer dan Wiener (1978) dalam Bulaeng (2000:158) analisis isi adalah suatu prosedur sistematik yang disusun untuk menguji isi informasi yang terekam. Krippendoft (1980) mendefinisikan analisis isi suatu penelitian untuk membuat referensi-referensi valid dan dapat ditiru dari data ke konteks.
Definisi Kerlinger (1986) agak khas, yaitu: bahwa analisis isi adalah suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematis obyektif dan secara kuantitatif untuk mengukur variabel. (Bulaeng, 2000:158). Dalam definisi Kerlinger ada tiga konsep yang mencakup di dalamnya. Pertama, analisis ini bersifat sistematis. Ini berarti bahwa isi yang akan dianalisis dipilih menurut aturan-aturan yang ditetapkan secara implisit dan eksplisit misalnya: cara penentuan sampel. Kedua, analisis isi bersifat obyektif. Ketiga, analisis si bersifat kuantitatif.
Setiap pemberian kode, pengklasifikasian dan penetapan kategorisasi dalam content analysis, maka peneliti adalah hakim yang bertanggung jawab bagi penelitiannya.
Koding (Bulaeng, 2000:155) adalah suatu data mentah yang secara sistematis ditransformasikan ke dalam unit-unit yang memungkinkan membuat deskripsi karakteristik isi yang relevan. Peraturan koding, memberikan konsep operasional antara data peneliti-peneliti, teori-teori, serta hipotesis. “Koding” merupakan bagian dari dasar-dasar pembuatan rancangan penelitian. Pada titik ini diambil keputusan mengenai pembuatan kategori-kategori, unit-unit isi dan sistem perhitungan. Angka dan tipe-tipe kategori, unit-unit isi dan sistem perhitungan. Hal ini bisa termasuk orang-orang, kelompok, kecenderungan-kecenderungan, kebijaksanaan-kebijaksanaan, gagasan-gagasan, saran-saran, nilai-nilai, metode-metode, dan lain-lain. Setelah koding adalah penyelesaian unit-unit isi bisa kita lihat artikel-artikel, kata-kata, simbol-simbol, paragprap, kalimat, item-item. Karena tugas didasarkan pada beberapa media, kesimpulannya tidak dapat digeneralisasikan.

Kegunaan Analisis Isi
Ada lima tujuan analisis isi: (1). Menggambarkan isi komunikasi, (2). Menguji hipotesis karakteristik-karakteristik suatu pesan, (3). Membandingkan isi media dengan dunia nyata, (4). Melalui imej suatu kelompok tertentu dan masyarakat, dan (5). Menciptakan titik awal terhadap studi efek media.

Keterbatasan analisis isi
Analisis isi sendiri tak dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuat pertanyaan-pertanyaan tentang efek-efek isi pada audiens. Temuan-temuan dalam analisis isi tertentu dibatasi oleh kerangka kategori-kategori dan definisi yang digunakan dalam analisis isi adalah kurangnya pesan-pesan yang relevan dengan penelitian tersebut. Banyak topik atau karakter yang mendapatkan terpaan yang relatif kecil dalam media massa.

2. Analisis Wacana
Karena penelitian ini mengkombinasikan antara analisis isi dengan analisis wacana, maka perlu kiranya dipaparkan sedikit tentang analisis wacana.
Wacana merupakan ungkapan pikiran manusia dalam bentuk bahasan, baik lisan maupun media. Menurut Webster dalam Sobur (2001:9-10), wacana mengandung arti komunikasi pikiran dengan kata-kata, ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan, dan komunikasi secara umum, terutama sebagai subjek studi atau pokok telaah, serta risalah tulis seperti disertasi formal; kuliah, ceramah, dan khotbah.
Samsuri dalam Sobur (2001:10) mendefinisikan wacana sebagai rekaman bahasa yang utuh tentang peristiwa komunikasi, terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain disampaikan secara lisan maupun dalam bentuk tertulis.
Leo Kleden dan James Lull dalam Sobur (2001:11) memberikan pengertian secara sederhana. Menurut Lull, wacana adalah cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik. Sedangkan menurut Kleden, wacana merupakan ucapan sesuatu tentang sesuatu kepada pendengar, dan selalu mengandalkan pembicara atau penulis mengenai apa yang dibicarakan kepada pendengar atau pembaca.
Tujuan umum wacana adalah untuk menyampaikan ide atau gagasan kepada publik untuk diketahui masyarakat atau khalayak sebagai suatu pengetahuan (kognisi), selanjutnya terjadi perubahan sikap (attitude change) yang berdampak pada perubahan sosial (social change) kemasyarakatan).
Stephen W Little Jauh dalam Genda (2006:21) menyatakan studi tentang struktur pesan merupakan analisis wacana dengan memperhatikan: pertama, mengenai cara-cara wacana susun, dimana komunikator berdasar atas prinsip menghasilkan pemahaman atas percakapan dan pesan-pesan lainnya, dengan cara langsung atau nonverbal, dengan melihat pesan tunggal terstruktur. Kedua, wacana dipandang sebagai aksi dalam bentuk kata-kata atau tulisan untuk mencapai suatu tujuan, dengan memperhatikan bagaimana pembicara menyusun kata-kata. Ketiga, mencari prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual berdasarkan perspektif mereka dengan tidak memperhatikan ciri atau sifat psikologis yang tersembunyi dari mereka.
Secara umum pendekatan untuk menganalisis teks media masih tetap berpatokan pada pendekatan dasar dalam menganalisis isi (content analysis) secara tradisional. Menurut Denis McQuail dalam Genda (2006:22), pendekatan dasar adalah (1) memilih contoh (sample) atau keseluruhan isi;(2) menetapkan kerangka kategori acuan eksternal yang relevan dengan tujuan pengkajian (misalnya sekelompok politik atau negara); (3) memilih satuan analisis isi (kata, kalimat, alinea, kisah, gambar, urutan, dan sebagainya); (4) menyesuaikan isi dengan kerangka kategori, persatuan unit yang terpilih; (5) mengungkapkan hasil sebagai distribusi menyeluruh dari semua satuan atau sampel dalam hubungannya dengan frekuensi kejadian terhadap hal-hal yang dicari untuk menjadi acuan.

3. Teori Agenda Setting
Teori Agenda Setting yang diistilahkan oleh McCombs dan Shaw (1972) dalam McQuail (1996:247) digunakan untuk melukiskan gejala yang telah lama diperhatikan dan ditelaah dalam konteks kampanye pemilihan dalam artian umum. Contohnya adalah situasi dimana para politikus berusaha meyakinkan para pemilih tentang apa yang merupakan bagian yang paling penting dari anjuran dan upaya pembentukan opini. Trenaman dan McQuail (1996:247) mengemukakan: “Ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa orang –orang berpikir tentang apa yang diberitahukan kepada mereka...tetapi memandang hal itu tanpa dampak perilaku”.
Telah dikemukakan bahwa media menawarkan perwakilan realitas masyarakat dan beberapa aspek dari hakikat ‘realitas’. Salah satu dampak yang mungkin telah diperbincangkan adalah adanya pengaturan agenda (agenda setting). Apabila media dapat menyampaikan kesan tentang prioritas dan mengarahkan perhatian pada berbagai isu dan masalah secara selektif, maka media dapat berbuat lebih banyak. Langkah dari proses pemeringkatan seperti itu ke pembentukan opini yang lebih luas bukanlah langkah besar, dan teori sosialisasi media memuat unsur itu. Proses dasarnya dapat dilukiskan dengan istilah umum sebagai ‘penentuan situasi’ dan kadar pentingnya terletak pada pernyatan sosiologis yang dikumandangkan WI Thomas (Mc Quail, 1996:252) bahwa ‘apabila orang memandang situasi sebagai sesuatu yang nyata, maka konsekuensi situasi itu pun nyata’.
Dalam contoh pemilihan keputusan politik, kecenderungan penetapan keputusan masyarakat akan pilihannya itu semakin besar seolah –olah memang media massa yang mengatur “agenda” dan menetapkan masalah atas dasar harian secara berkesinambungan sedangkan partai politik dan para politikus semakin tanggap akan pandangan konsensus tentang hal –hal yang seyogyanya dilakukan.
Meskipun komunikasi massa dapat dikatakan sebagai transmisi pesan satu arah yang sasarannya adalah orang banyak, tetapi kita juga telah diingatkan bahwa komunikasi massa mencakup pelbagai ragam tujuan dan hubungan komunikasi. Beberapa hal penting yang berkenaan dengan keanekaragaman tersebut meliputi: apakah pengiriman itu diarahkan dan disengaja atau tidak; apakah penerimaannya juga ditopang oleh motivasi dan keaktivan yang berkadar sama atau tidak; bentuk dan jauh –dekatnya hubungan antara khalayak dengan komunikator . Salah satu pokok pikiran yang menonjol menyajikan modal komunikasi sebagai suatu proses pertunjukan/ sajian (display) dan perolehan perhatian, bukannya ekspresi, persuasi aau informasi. Dilihat dari sudut pandang para komunikator massa, model tersebut sekurang-kurangnya dapat mencakup aspek penting reaitas komunikasi massa. Tambahan pula, model tersebut membantu kita untuk memahami ragam isi dan pola formasi, serta tanggapan (reaksi) khayalak yang tipikal. Hal penting menyangkut model itu ialah model tersebut mewakili kegiatan pelbagai ragam komunikasi massa yang pada hakekatnya diarahkan untuk memperoleh perhatian dari calon ‘penonton’ yang tidak dikenal dan tetap mengupayakan agar calon ‘penonton’ itu tetap memberikan perhatiannya.
Model ini membantu menerangkan beberapa aspek kegiatan organisasi yang berkenaan dengan perolehan khalayak baik sebgai tujuan yang tersendiri, maupun sebgai sumber pendapatan, serta sebagai suatu kriteria keberhasilan. Di samping itu, model tersebut merupakan komponen penting dalam setiap penjelasan menyangkut nilai berita, nilai penyajian, pilihan bentuk dan format. Tambahan pula, model ini menyumbangkan konsep khalayak yang utuh.
Akhirnya, hal yang mungkin paling penting dalam model tersebut adalah konsep perhatian dipandang sebagai efek yang tersendiri dan sebagai unsur yang diperlukan oleh kebanyakan efek lainnya, baik diinginkan atau tidak diinginkan. Sebagai kunci bagi pelbagai efek lain, tentu saja perhatian merupakan persyaratan untuk penataan agenda, penentuan realitas serta pemberian dukungan pendapat. Perhatian memiliki peran penting pada sejumlah besar efek perilaku. Misalnya peniruan (imitasi), pemberian dorongan gerak, dan sebagainya. Pemberian perhatian dapat mengambil bahan dari beberapa sumber; keadaan masyarakat; anggota masyarakat itu sendiri (kebutuhan, kepentingan, pengetahuan, watak); upaya media itu sendiri untuk memperoleh perhatian.

4. Teori Normatif- Perbandingan Pers
Salah satu teori yang berhubungan dengan perkembangan media massa adalah teori normatif (McQuail, 1996:109). Dalam teori ini konsep hubungan dinyatakan secara jelas. Di samping itu, teori tersebut mengandung beberapa pandangan tentang harapan masyarakat terhadap media dan peran seharusnya dimainkan media. Meskipun setiap bangsa memiliki teori normatifnya sendiri, namun masih terdapat beberapa prinsip umum yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi berbagai konsep khusus yang dianut oleh berbagai bangsa.
Upaya pertama yang mencoba membedakan beberapa teori besar menyangkut media berawal pada tahun 1956 (Siebert dan kawan-kawan). Empat klasifikasi yang diciptakan oleh Siebert dan kawan-kawannya masih dipakai meskipun sudah ditambah dengan dua klasifikasi lainnya, sebagai bukti diterimanya perkembangan baru dalam segi pemikiran
a. Teori Otoriter
Teori ini mengidentifikasi, pertama, pengaturan pers tentang kapan dan dimana pers mulai dalam masyarakat, untuk hampir semua bagian monarki dimana pers tunduk pada kekuasaan negara dan kepentingan kelas penguasa.
Teori otoriter membenarkan adanya sensor pendahuluan dan hukuman atas penyimpangan dari pedoman yang ditetapkan secara eksternal yang khususnya cenderung berlaku bagi hal-hal yang bersifat politis atau segala sesuatu yang memiliki implikasi ideologis yang jelas. Bentuk pengungkapan dan pemerkuatan teori otoriter tampak sangat beragam, termasuk melalui: peraturan perundang-undangan; pengendalian produksi secara langsung oleh pemerintah negara; kode etik yang dapat diberlakukan; pajak dan jenis sanksi ekonomi lainnya; pengendalian impor media mancanegara; hak pemerintah untuk mengangkat staf redaksi.
Prinsip utama teori ini dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
 Media seyogyanya tidak melakukan hal yang dapat merusak wewenang yang ada.
 Media selamanya (akhirnya) harus tunduk pada penguasa yang ada.
 Media seyogyanya menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau dominan mayoritas.
 Penyensoran dapat dibenarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini.
 Kecaman yang tidak dapat diterima terhadap penguasa, penyimpangan dari kebijaksanaan resmi, atau perbuatan yang menentang kode moral dipandang sebagai perbuatan pidana.
 Wartawan atau ahli media lainnya tidak memiliki kebebasan di dalam organisasi medianya.
b. Teori Pers Bebas
Teori ini sederhana dan merupakan teori yang berisi atau menimbulkan ketidakonsistenan mendasar. Dalam bentuk yang paling dasar teori ini hanya menyatakan bahwa seseorang seyogyanya bebas mengungkapkan hal-hal yang disukainya dan karenanya merupakan peluasan hak-hak lainnya –yaitu hak untuk berpendapat secara bebas dan hak untuk mengungkapkan pendapat itu, serta hak untuk bergabung dan berserikat dengan yang lain. Dengan demikian, prinsip dan nilai-nilai yang mendasarinya identik dengan prinsip dan nilai-nilai negara demokrasi liberal, yakni keyakinan akan keunggulan individu, akal sehat, kebenaran dan kemajuan, dan akhirnya, kedaulatan rakyat.
Kelebihan pers bebas adalah bahwa ia memungkinkan pengungkapan ini dan memungkinkan “masyarakat” mengetahui aspirasi anggotanya. Kebenaran, kesejahteraan, dan kebebasan harus berjalan seiring dan pengendalian pers akhirnya hanya akan menimbulkan ketidaknalaran dan penekanan, meskipun tampaknya hal itu dapat dibenarkan dalam jangka pendek.
Di hampir semua masyarakat yang telah mengakui kebebasan pers, pemecahannya adalah membebaskan pers dari sensor pendahuluan tetapi pers tidak bebas dari peraturan perundang-perundangan yang mengatur setiap konsekuensi aktivitasnya yang melanggar hak orang lain dan tuntutan sah dari masyarakat. Perlindungan terhadap orang-orang secara individu, kelompok, minoritas (atas reputasi, harta benda, kemerdekaan pribadi, perkembangan moral mereka), serta keamanan dan bahkan kehormatan negara seringkali lebih diutamakan daripada nilai mutlak kebebasan untuk mempublikasikan.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar masalah dan ketidakonsistenan teori ini. Pertama, tidak sangat jelas tentang sejauh mana teori itu dapat dipandang berlaku bagi siaran publik, yang sekarang bertanggung jawab bagi sebagian besar aktivitas media dalam masyarakat yang masih tetap terkait dengan idaman kemerdekaan perorangan, dan sesungguhnya, seberapa jauh hal itu berlaku bagi lingkup aktivitas komunikasi yang penting lainnya dimana kebebasan mungkin sama pentingnya –seperti dalam pendidikan, kebudayaan, dan kesenian.
Kedua, teori ini tampaknya dirancang untuk melindungi opini dan keyakinan serta kurang bernilai “informasi”.
Ketiga, teori ini telah terlalu sering dirumuskan untuk melindungi pemilik media dan tidak dapat memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan pendapat tentang hak para editor dan wartawan yang dapat dipersoalkan dalam pers, atau hak audiens, atau pewaris lain yang mungkin, atau korban dari pengungkapan bebas.
Keempat, teori ini mengharamkan pengendalian wajib tetapi tidak memberikan cara yang jelas untuk mengatasi berbagai tekanan yang ditujukan pada media, khususnya, namun bukan satu-satunya, yang timbul dari lingkungan pasar.
Atas dasar uraian tersebut. gagasan tentang pers bebas dapat diungkapkan dalam beberapa prinsip berikut:
 Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihak ketiga.
 Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi.
 Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda dari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dan gangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan setelah terjadinya peristiwa itu.
 Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal.
 Publikasi “kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran, dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.
 Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.
 Seyogyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor atau ekspor atau pengiriman atau penerimaan “pesan” di seluruh pelosok negeri.
 Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang sangat tinggi di dalam organisasi mereka.

c. Teori Tanggung Jawab Sosial.
Teori tanggung jawab sosial berasal dari inisiatif orang Amerika –Komisi Kebebasan Pers atau the Commission on Freedom of the Press (Hutchins, 1947). Pendorongnya yang utama adalah tumbuhnya kesadaran bahwa dalam hal-hal tertentu yang penting, pasar bebas telah gagal untuk memenuhi janji akan kebebasan pers dan untuk menyampaikan maslahat yang diharapkan bagi masyarakat.
Teori ini mengawinkan kemandirian dengan kewajiban terhadap masyarakat. Landasannya yang utama adalah: asumsi bahwa media melakukan fungsi yang esensial dalam masyarakat, khususnya dalam hubungannya dengan politik demokrasi; pandangan bahwa media seyogyanya menerima kewajiban untuk melakukan fungsi itu –terutama dalam lingkup informasi, dan penyediaan mimbar bagi berbagai pandangan bahwa ada standar prestasi tertentu dalam karya media yang dapat dinyatakan dan seyogyanya dipedomani.
Teori tanggung jawab sosial berusaha memadukan tiga prinsip yang agak berbeda: prinsip kebebasan dan pilihan individual; prinsip kebebasan media; dan prinsip kewajiban media terhadap masyarakat. Teori ini memiliki dua bentuk penanggulangan utama yang paling disukai. Pertama, adalah pengembangan lembaga publik, tetapi mandiri, untuk mengelola siaran, pengembangannya kemudian berpengaruh pada peningkatan cakupan dan kekuatan politis dari konsep tanggung jawab sosial. Kedua, adalah pengembangan profesionalisme lebih lanjut sebagai sarana untuk mencapai standar prestasi yang lebih tinggi, pada saat yang sama mempertahankan pengaturan oleh media sendiri.
Prinsip utama teori tanggung jawab sosial adalah sebagai berikut:
 Media seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat. (public’s right to know)
 Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas, dan keseimbangan.
 Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
 Media seyogyanya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama.
 Media secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
 Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum (public good).
 Wartawan dan media profesional seyogyanya bertanggung jawab terhadap masyarakat dan juga kepada majikan serta pasar

d. Teori Media Soviet
Teori ini lebih kental pada pers Rusia dan media lain yang direorganisasi sepenuhnya setelah Revolusi 1917, dan dilengkapi dengan teori yang berasal dari postulat dasar Marx dan Engels, serta kaidah penerapan Lenin. Gagasan yang paling penting adalah sebagai berikut. Pertama, kelas pekerja berdasarkan definisi memegang kekuasaan dalam masyarakat sosialis dan, untuk tetap berkuasa, semua media harus tunduk pada pengendalian kelas pekerja –terutama Partai Komunis.
Kedua, masyarakat sosialis adalah atau diharapkan menjadi masyarakat kelas dan karenanya tidak mengandung konflik kelas, sehingga pers seyogyanya tidak distruktur sejalan dengan konflik politik.
Ketiga, pers memainkan peran positif dalam pembentukan masyarakat dan gerakan ke arah komunisme dan hal ini menunjukkan sejumlah fungsi yang penting bagi media dalam sosialisasi, pengendalian sosial informal, dan mobilisasi untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi yang terencana.
Keempat, marxisme masyarakat hukum sejarah obyektif dan karenanya pers harus mencerminkan realitas obyektif.
Akhirnya, teori umum negara Soviet menyaratkan agar media menyerahkan pengendalian akhir kepada organ negara dan, dalam berbagai tingkat, dipadukan dengan instrumen lain dari kehidupan politik.
Intisari dari teori ini adalah sebagai berikut:
 Media seyogyanya melayani kepentingan dari, dan berada di bawah pengendalian, kelas pekerja.
 Media seyogyanya tidak dimiliki secara pribadi.
 Media harus melakukan fungsi positif bagi masyarakat dengan: sosialisasi terhadap norma yang diinginkan; pendidikan; informasi; motivasi; mobilisasi.
 Di dalam tugas menyeluruhnya bagi masyarakat, media seyogyanya tanggap terhadap keinginan dan kebutuhan audiensnya.
 Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya untuk mencegah, atau menghukum setelah terjadinya peristiwa, publikasi anti masyarakat.
 Media perlu menyediakan pandangan yang purna (complete) dan obyektif tentang masyarakat dan dunia, dalam batas-batas prinsip marxisme –leninisme.
 Wartawan adalah ahli yang bertanggung jawab yang tujuan dan cita-citanya seyogyanya serupa dengan kepentingan terbaik masyarakat.
 Media hendaknya mendukung gerakan progresif di dalam dan di luar negeri.

e. Teori Media Pembangunan
Titik tolak bagi “teori pembangunan” yang tersendiri tentang media massa ialah adanya fakta beberapa kondisi umum negara berkembang yang membatasi aplikasi teori lain atau mengurangi kemungkinan maslahatannya. Salah satunya kenyataan adalah tidak adanya beberapa kondisi yang diperlukan bagi pengembangan sistem komunikasi massa: infrastruktur komunikasi; keterampilan profesional; sumber daya produksi dan budaya; audiens yang tersedia. Faktor lain, yang berhubungan, adalah ketergantungan pada dunia maju (Dunia I) telah berkembang atas hal-hal yang menyangkut produk teknologi, keterampilan, dan budaya. Ketiga, masyarakat sedang berkembang sangat gandrung menekankan pembangunan ekonomi, politik, dan sosial sebagai tugas utama nasional, untuk mana semua lembaga lain harus bermuara. Keempat, fakta semakin menunjukkan bahwa negara sedang berkembang menyadari keserupaan jati diri dan kepentingan mereka dalam politik internasional.
Satu hal yang paling menyatukan teori media pembangunan adalah penerimaan pembangunan ekonomi itu sendiri (yang karenanya perubahan sosial), dan seringkali “pembangunan bangsa” (nation –building) yang bersangkutan sebagai tujuan utama. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebebasan tertentu dan para wartawan tunduk pada tanggung jawab mereka untuk membantu pencapaiannya. Pada saat yang sama, yang ditekankan adalah tujuan kolektif dan bukan kebebasan individu. Unsur yang relatif baru dalam teori media pembangunan adalah penekanan pada “hak untuk berkomunikasi”, yang didasarkan atas Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Manusia: “Setiap orang memiliki hak mengeluarkan pendapat; hak ini mencakup kebebasan menganut pendapat tanpa gangguan dan kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui media mana pun tanpa mempersoalkan batas negara.” Meskipun sukar menemukan kasus-kasus individu yang jelas menunjukkan teori media pembangunan.
Prinsip utama teori ini dapat diungkapkan sebagai berikut:
 Media seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas pembangunan positif sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional.
 Kebebasan media seyogyanya dibatasi sesuai dengan (1) prioritas ekonomi dan (2) kebutuhan pembangunan masyarakat.
 Media perlu memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional.
 Media hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya pada negara sedang berkembang lainnya yang erat kaitannya secara geografis, kebudayaan, atau politik.
 Para wartawan dan karyawan media lainnya memiliki tanggung jawab serta kebebasan dalam tugas mengumpulkan informasi dan penyebarluasannya.
 Bagi kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak untuk campur tangan dalam atau membatasi, pengoperasian media serta sarana penyensoran, subsidi, dan pengendalian langsung dapat dibenarkan.

f. Teori Media Demokratik –Partisipan
Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori lain dan pengalaman aktual dan sekaligus sebagai gerakan positif ke arah bentuk baru lembaga media.
Lokasinya terutama dalam masyarakat liberal yang telah berkembang tetapi ia bergabung dengan beberapa unsur yang ada dalam teori media pembangunan, khususnya penekanannya pada “basis” masyarakat, pada nilai komunikasi horizontal, dan bukan pada komunikasi vertikal. Stimulus utama teori ini adalah reaksi terhadap komersialisasi dan pemonopolian media yang dimiliki secara pribadi dan terhadap sentralisme dan birokratisasi lembaga penyiaran publik, yang diadakan sesuai dengan norma tanggung jawab sosial.
Dengan demikian, titik sentral teori demokratik –patisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi “penerima” dalam masyarakat politik. Ini ada hubungannya dengan hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak untuk menggunakan sarana komunikasi untuk berinteraksi dalam kelompok masyarakat berskala kecil, kelompok kepentingan sub budaya. Teori ini menolak keharusan adanya media yang seragam, disentralisasi, mahal, sangat diprofesionalkan, dan dikendalikan oleh pemerintah. Teori ini lebih condong pada keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, deinstitusionalisasi, pertukaran peran antara pengirim dengan penerima, hubungan komunikasi horizontal pada semua tingkat masyarakat, dan interaksi.
Ikhtisar rumusan prinsip teori ini dapat disajikan sebagai berikut:
 Warga negara secara individu dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan media (hak untuk berkomunikasi) dan hak untuk dilayani oleh media sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri (public’s right to know)
 Organisasi dan isi media seyogyanya tidak tunduk ada pengendalian politik yang dipusatkan atau pengendalian birokrasi negara.
 Media seyogyanya ada terutama untuk khalayaknya. Dan bukan untuk organisasi media, para ahli atau pelanggan media tersebut.
 Kelompok, organisasi, dan masyarakat lokal seyogyanya memiliki media sendiri (community media).
 Bentuk media yang berskala kecil, interaktif, dan partisipatif lebih baik ketimbang media berskala besar, satu arah, dan diprofesionalkan.
 Kebutuhan sosial tertentu yang berhubungan dengan media massa tidak cukup hanya diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga hanya diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga melalui negara dan berbagai lembaga utamanya.
 Komunikasi terlalu penting untuk diabaikan oleh para ahli.

C. Hasil Penelitian yang Relevan
Penulis mengambil tema dan metode penelitian ini didasari oleh beberapa penelitian sebelumnya.
1. Penelitian yang dlakukan oleh Ginish J Gulati pada 2006 berjudul “Media Representation human Trafficking in the US and Europe”. Penelitian ini merupakan paper yang dipresentasikan pada “The Annual Meeting of the NCA 94 th, Annual Convention, TBA, di San Diego. Penelitian ini mengkaji liputan media tentang perdagangan manusia pada tahun 2006 di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Cakupan telah disajikan dalam suatu kejahatan atau kerangka hukum; kisah hanya menyajikan berbagai sudut pandang terbatas pada penyebab trafiking dan solusi yang mungkin, dan media telah mengandalkan pada kelompok terbatas dan eksklusif sumber, sebagian besar yang memiliki perspektif kelembagaan, penelitian ini meperlihatkan jarangnya persaingan dalam menyajikan perspektif atau kritik dari feminis dan pembela hak-hak pekerja seks.
2. Fahy, Stephani, Farrel, Amy dan Mc Devitt berjudul “ Human Trafficking: Media Recognation of a Historic problem”, paper pada The Annual meeting of the American Society of Criminology(ASC), Los Angeles, November 2006. Penelitian ini menyajikan tentang Negara Federal dan negara bagian yang berinisiatif memerangi perdagangan. Mereka telah menghasilkan investasi sumber daya yang signifikan untuk meningkatkan penyidikan dan penuntutan pelaku trafiking. Sementara beberapa penelitian telah meneliti proses melalui mana perdagangan manusia muncul di legislatif dan agenda politik, hanya ada sedikit penelitian mengenai peristiwa penting yang memicu keributan sosial di sekitar perdagangan manusia. Analisis isi yang luas liputan media yang dimulai pada 1990 dan memperluas ke dalam masa kini digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan bagaimana dan dalam keadaan apa perdagangan manusia itu di depan umum diakui sebagai masalah sosial.
Penelitian ini menelaah istilah 'perdagangan manusia' yang mulai muncul dalam laporan berita dalam rangka untuk menentukan apa, jika ada, peristiwa-peristiwa tertentu yang memicu respon di seluruh dunia untuk suatu kejahatan yang digolongkan sebagai salah satu kriminal terbesar di dunia hiburan. Selain itu, penelitian ini melihat bagaimana definisi perdagangan umum digunakan dalam media bisa menyulitkan penegakan hukum dan tanggapan penyedia layanan untuk masalah perdagangan manusia. Media dalam hal perdagangan manusia, telah jenuh dengan cerita-cerita perempuan dan anak perempuan dipaksa menjadi perbudakan seksual. Sensasi seperti bahan bakar untuk publik, keprihatinan tentang perdagangan seks sebagai kepanikan moral, yang pada akhirnya mengalihkan sumber daya dari bentuk-bentuk lain perdagangan, terutama kerja paksa. Penelitian ini memperluas analisis asli dengan mengembangkan tipologi karakteristik kasus perdagangan yang muncul di media.
3. Fahy, Stephanie, Farrel, Amy, dan Mc Devitt. Berjudul “Human Trafficking: Media Myth or reality?” paper yang dipresentasikan pada The Annual Meeting of The American Society of Criminology, di Atlanta, Georgia pada November 2007. Penelitian ini memberikan hasil dari analisis isi yang luas dari liputan media yang dimulai pada 1990 dan masih brlangsung hingga saat ini. Dalam rangka untuk menentukan bagaimana dan dalam keadaan apa perdagangan manusia itu di depan umum diakui sebagai masalah sosial. Sementara beberapa penelitian telah meneliti proses penetapan agenda melalui perdagangan manusia yang muncul di legislatif dan agenda politik, hanya ada sedikit penelitian mengenai peristiwa penting yang memicu keributan sosial di sekitar perdagangan manusia. Ini adalah yang pertama studi empiris untuk menjelajahi bagaimana perdagangan manusia digambarkan oleh media cetak dan bagaimana ia telah berubah dari waktu ke waktu untuk melihat tema-tema macam apa yang muncul yang mungkin telah berkontribusi terhadap kejahatan, didefinisikan sebagai masalah sosial. Menggunakan istilah pencarian 'perdagangan manusia', para peneliti melakukan pencarian artikel media cetak di empat wilayah AS 1990-2006. Lebih dari 1.347 laporan media cetak telah dianalisis sejauh ini untuk menentukan bagaimana para korban dan pelaku yang dikonseptualisasikan oleh media dan bagaimana insiden perdagangan dibingkai di media. Studi ini juga akan digunakan untuk memandu penelitian di masa depan, khususnya dalam menentukan bagaimana penggambaran media perdagangan manusia dirasakan oleh pembuat undang-undang dan penegakan hukum dan dampak persepsi ini.

D.Kerangka Pikir
Pada akhirnya, uraian beberapa teori dalam bab ini dapat disimpulkan dalam suatu kerangka pikir. Kerangka pikir ini merupakan model kebijakan pers yang dianut tiap media dan juga bagaimana porsi dan perhatian media ini terhadap suatu masalah.

KERANGKA PIKIR PENELITIAN