Kamis, 23 September 2010

Walidah dibalik “Sang Pencerah” Umat

“Dibalik lelaki yang hebat terdapat wanita yang hebat” kalimat ini dikutip Zaskia Adya Mecca dalam menggambarkan peran Siti Walidah sebagai istri dari KH Ahmad Dahlan. Kekaguman Zaskia yang memerankan Walidah ini mampu diaktualisasikannya dalam peran di film Sang Pencerah. Beberapa adegan yang ditampilkan, membuat Nyai kiai Kauman tersebut tak kelihatan sebagai perempuan desa yang hanya sekedar tampil saja. Bahkan beberapa masalah yang dihadapi Kiyai Dahlan, selalu terselesaikan karena semangat dan kata-kata dari istrinya. Misalnya dalam satu adegan, dimana Kiyai Noor, kakak kandung Walidah, meminta agar Walidah menyuruh suaminya untuk berhati-hati dengan apa yang dia lakukan karena sudah dianggap sesat. Tetapi, Walidah hanya berucap kalau sebagai istri, apapun yang dilakukan suaminya harus dia dukung. Karena dia yakin apa yang dia lakukan suaminya sudah benar. Memang benar, hubungan kekeluargaan sangat berharga, tetapi mematuhi suami, dalam gambaran film besutan Hanung Bramantyo ini adalah kewajiban istri. Atau dalam adegan lain, dimana percakapan Ahmad Dahlan dan Walidah terjadi ketika kebimbangan menghinggapi Dahlan. Walidah mengucapkan bahwa dia tidak pernah melaksanakan shalat istikharah seperti yang disuruhkan ibunya untuk meminta jawaban apakah Ahmad Dahlan merupakan jodohnya atau bukan. Tetapi, dia melakukan shalat hajat karena dia yakin kalau Dahlan merupakan lelaki yang dia yakin dipilihkan Tuhan menjadi suaminya. Saya membayangkan bagaimana perasaan Ahmad Dahlan mendengar perkataan istrinya. Saya sendiri yang mendengar kalimat itu bergetar, dan memikirkan bagaimana perasaan senang dan semangat yang seakan terpompa mendengar kalimat-kalimat penyemangat seperti itu. Lelaki mana yang tak bergetar hatinya mendengar kalimat-kalimat penyemangat seperti itu!
Dalam film yang berdurasi 112 menit ini, sosok Walidah yang tipe wanita jawa pendiam dan “nrimo” ini bukanlah tokoh sentral. Tapi, Walidah tidak hanya sekedar pelengkap dalam film. Dia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pendiri Muhammadiyah ini. Penonton mungkin hanya akan terfokus pada perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Islam di Yogyakarta dan pertentangan-pertentangan yang dihadapinya dengan Kiyai-kiyai besar. Tetapi, yang perlu dicatat pula, ada perubahan pola pikir yang saya dapatkan mengenai gambaran perempuan di film ini. Gambaran perempuan yang berbeda dengan apa yang saya dapatkan dalam sejarah budaya perempuan dahulu.
Kegigihan Walidah, pendiri Aisyiyah ini mengambarkan betapa hebatnya perempuan di belakang Ahmad Dahlan. Memang tak digambarkan bagaimana ia mendapatkan pendidikan formal dalam sekolah umum, bahasa apa saja yang dia kuasai, bagaimana perkumpulan Aisyiyah yang dia bentuk (karena filmnya lebih condong tentang Ahmad Dahlan), atau bagaimana perjuangannya menegakkan Islam dalam film itu. Tetapi, bagaimana ia bersabar berada di samping suaminya dan mengurusi anak-anaknya, itulah yang saya sebut sebagai bentuk perjuangan seorang perempuan. Beliau dalam referensi yang saya dapatkan, menjadi terkenal karena kepintarannya dalam ilmu agama. Ilmu yang didapatkan dari suaminya. Pada awal revolusi, Nyai Dahlan dalam usianya yang sudah uzur masih giat membantu perjuangan para pemuda Indonesia. Beliau kemudian ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional pada 1971.

Perempuan dan budaya politik
Budaya kita pernah menggambarkan bagaimana tipikal perempuan Indonesia pada jaman dulu. Perempuan yang patuh dan tidak diperbolehkan untuk protes. Perempun yang posisinya hanya berada pada ruang dapur dan tempat tidur. Fatimah Mernissi pernah mengungkapkan bagaimana seorang perempuan muslim yang dibesarkan untuk melulu menaati perintah-perintah, menyelinap ke dalam posisi subordinat ternyata masih menjadi bagian dari perempuan generasi ini. Mernissi dalam buku Perempuan di Garis Depan (2000) juga pernah menolak ucapan Mohammed Arafah yang mengatakan bahwa kaum perempuan sama sekali tak mempunyai hak politik, alasannya karena di zaman Nabi-di saat Nabi membangun negara muslim- juga tak pernah mendapatkan hak itu.
Politik tentu saja tidak hanya berkutat dengan partai, lembaga, dan pemilihan presiden. Apa yang dilakukan Walidah sebenarnya secara tidak langsung menggambarkan bagaimana perempuan pada zaman itu mulai masuk pada ranah politik. Menurut saya, dukungan-dukungan yang dilakukan Walidah pada Kiyai Dahlan bahkan beberapa hanya dalam gerak dan mimik, sebenarnya sudah merupakan bagian dari keterlibatannya dalam dunia politik pada masa itu. Bagaimana seandainya jika Walidah hanya menjadi perempuan yang tidak mau tahu apa yang dilakukan suaminya? Atau bagaimana jika Walidah tidak pernah diajak berdiskusi oleh suaminya dalam hal apapun yang menyangkut perjuangannya. Barangkali, Muhammadiyah hingga kini tak akan pernah ada. Perempuan seperti Walidah, walaupun tak pernah mengenyam pendidikan sampai S3 pun menjadi gambaran kita bahwa kesederhanaan perempuan muslim sebenarnya tidak bisa menjadi patokan model-model pergerakan feminisme kekinian. Saking hebatnya beliau, Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Presiden RI Pertama, Soekarno, pernah mengunjunginya untuk bertukar pikiran.
Perempuan sesederhana Walidah, mempunyai pengaruh besar dalam dunia politik di Indonesia. Lewat film ini saya belajar, untuk menjadi perempuan yang hebat dan dikenang bangsa, sekolah sampai program Doktor rasanya tak perlu. Saya hanya ingin menjadi Walidah, perempuan hebat yang sederhana, yang menjadi bagian dari perjuangan Islam di Indonesia. (Makassar, 17 September 2010)

AF Astrid, pemerhati masalah sosial perempuan. Tercatat menjadi dosen Komunikasi di beberapa PTS di Makassar