Kamis, 05 November 2009

BAB II Tinjauan Pustaka

A. Kajian Konsep dan Teori
I. Komunikasi dan Media Massa
Cangara (2005:06) memaparkan, manusia berkomunikasi dengan alat cetak mencetak berlangsung kira-kira 500 tahun, kemudian manusia terampil berkomunikasi melalui getaran-getaran elektronik. Keterampilan ini secara berturut-turut dimulai dengan penemuan fotografi di atas besi plat (1827), telegraf oleh Samuel Morse (1844), telegraf cetak oleh David Hughes (1955), Cable Trans-Atlantik (1866), telepon oleh Alexander Graham Bell (1876), radio telegraf oleh Guglielmo Marconi (1895), kamera film oleh Auguste dan Louis Lumiere (1895) serta keberhasilan Amerika mendemonstrasikan pesawat TV hitam putih dalam tahun 1927.
Lima puluh tahun sesudah Amerika berhasil mendemonstrasikan pesawat TV, kecakapan manusia berkomunikasi memasuki generasi keempat melalui teknologi komunikasi yang lebih canggih. Rogers menyebutnya sebagai generasi media interaktif. Dalam kurun waktu yang relatif singkat berbagai macam teknologi komunikasi berhasil ditemukan. Secara berturut-turut dapat dicatat komputer pertama ditemukan di Amerika Serikat dalam tahun 1942, menyusul mesin foto copy Xerox oleh Chester Carson (1946), transistor oleh laboratorium elektornik Bell (1947) dan TV berwarna dalam tahun 1951. Enam tahun kemudian Rusia berhasil meluncurkan satelit Sputnik ke angkasa luar (1957), disusul Amerika Serikat dengan berhasil meluncurkan satelit Telstar (1962). Penemuan video recorder (1968), fiber optic signal (1975), TV computer game (1976), facsimile dan cetak jarak jauh (1980), teleconference, telephoto, video telephone, video-magazine, computer modem (1985) dan terakhir telepon selular dan jaringan internet (1990).
Komunikasi menurut De Vito (1982) dalam Cangara (2005:26) pada dasarnya terbagi atas empat macam. Yaitu, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, dan komunikasi massa.
Terdapat berbagai macam pendapat tentang pengertian komunikasi massa. Ada yang menilai dari segmen khalayaknya, dari segi medianya dan adapula dari sifat pesannya. Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung dimana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televisi, surat kabar dan film.
Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi sebelumnya, maka komunikasi massa memiliki ciri tersendiri. Sifat pesannya terbuka dengan khalayak yang variatif, baik dari segi usia, agama, suku, pekerjaan, maupun dari segi kebutuhan. Ciri lain yang dimiliki komunikasi massa, ialah sumber dan penerima dihubungkan oleh saluran yang telah diproses secara mekanik. Sumber juga merupakan suatu lembaga atau institusi yang terdiri dari banyak orang, misalnya reporter, penyiar, editor, teknisi dan sebagainya. Karena itu proses penyampaian pesannya lebih formal, terencana dan lebih rumit.
Pesan komunikasi massa berlangsung satu arah dan tanggapan baliknya lambat (tertunda) dan sangat terbatas. Tetapi dengan perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat, khususnya media massa elektronik seperti radio dan televisi maka umpan balik dari khalayak bisa dilakukan dengan cepat kepada penyiar.
Selain dari itu, sifat penyebaran pesan melalui media massa berlangsung begitu cepat, serempak dan luas. Ia mampu mengatasi jarak dan waktu, serta tahan lama bila didokumentasikan. Dari segi ekonomi, biaya produksi komunikasi massa cukup mahal dan memerlukan dukungan tenaga kerja relatif banyak untuk mengelolanya.
Jika khalayak tersebar tanpa diketahui di mana mereka berada, maka biasanya digunakan media massa. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi
Karakteristik media massa ialah:
1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan, sampai pada penyajian informasi.
2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima, kalau toh terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, di mana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama.
4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat kabar, dan semacamnya.
5. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan di mana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.
Dalam komunikasi massa, pengaruh tidak begitu mudah diketahui, sebab selain sifat massa tersebar, juga sulit dimonitor pada tingkat mana pengaruh itu terjadi. Dari berbagai studi, ditemukan bahwa komunikasi massa cenderung lebih banyak mempengaruhi pengetahuan dan tingkat kesadaran seseorang, sedangkan komunikasi antarpribadi cenderung berpengaruh pada sikap dan perilaku seseorang.
Rivers (2004:19) mempetakan media massa dalam sebuah karakteristik. Pertama, sifatnya satu arah. Kedua, selalu ada proses seleksi. Setiap media memilih khalayaknya. Ketiga, karena media mampu menjangkau khalayak secara luas. Keempat, untuk meraih khalayak sebanyak mungkin, harus berusaha membidik sasaran tertentu. Kelima, komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap kondisi lingkungannya.
2. Jurnalistik dan Berita
Suatu fakta dapat dikatakan berita dalam sebuah media apabila ia mengandung nilai. Media biasanya memberitakan hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Menurut F. Fraser Bond (An Introduction to Journalism, 1961) dalam Muis (1999:27), istilah jurnalistik mencakup semua bentuk penyebaran berita bersama komentarnya untuk mencapai orang banyak (publik). Berkaitan dengan istilah jurnalistik, Muis menambahkan, semua kejadian di dunia, asalkan sifatnya penting bagi publik, dan semua pikiran, tindakan serta ide-ide, yang didorongi oleh kejadian –kejadian tersebut, menjadi bahan pemberitaan bagi wartawan. Fraser menambahkan definisi jurnalistik itu berbeda-beda karena adanya perbedaan cara memandangnya. Bagi orang yang suka berolok-olok, jurnalistik tak lebih dari sekadar sebuah usaha dagang. Sedangkan bagi para idealis, jurnalistik adalah sebuah tanggung jawab dan privilege (hak pribadi). Ada pula yang memberikan definisi sebagai tulisan yang dibayar mengenai hal-hal yang anda tidak tahu. Atau: Penyampaian informasi dari sini ke sana dengan cara teliti, dengan pengetahuan yang dalam dan cepat mencapai banyak orang. Dengan cara itu kebenaran pun dapat disampaikan kepada banyak orang dan lambat laun kebenaran itu akan menjadi lebih terang.
Fried S. Siebert (Communication in Modern Society, 1948) dalam Muis (1999:28) mengatakan bahwa media massa tak mungkin memikul semua tanggung jawab dalam penyebaran tentang kebenaran. Media hanya mungkin mengatakan banyak tentang kebenaran sehingga publik mengetahui kejadian-kejadian atau kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung. Tujuan umum media massa, menurutnya ialah membuat rakyat di seluruh dunia bisa memperoleh isi komunikasi yang memungkinkan mereka memiliki sebuah masyarakat yang damai dan produktif, dan juga yang memberikan mereka kepuasan pribadi.
Media massa akhirnya memiliki kewajiban menciptakan sebuah masyarakat yang bebas, damai dan produktif serta menjamin kepuasan pribadi. Media massa ternyata mampu membantu kepentingan masyarakat dalam masalah human trafficking. Dijabarkan Harold D Laswell (The communication of Idea, 1948) dalam Muis (1999:28) bahwa media massa bisa berperan mengawasi lingkungan kita. Yaitu mengungkapkan berbagai ancaman dan peluang yang mempengaruhi nilai-nilai komunitas. Untuk masalah human trafficking, media massa bisa memberikan saran bagaimana mengendalikan jumlah tenaga kerja yang dikirim dan bagaimana model perlindungan mereka. Itu berarti pemberitaan media massa bisa menghubungkan anggota-anggota masyarakat dengan lingkungannya.
Fraser Bond dalam Muis (1999:28) menjelaskan bahwa gagasan mengenai layanan kepada publik ada dalam ajaran dan praksis jurnalistik. Pertama-tama jurnalistik berusaha mengingatkan khalayaknya tentang makna penting suatu kejadian. Cara yang biasa ditempuh menurut Bond ialah dengan memberikan informasi kepada khalayaknya (audience) dalam bentuk tajuk rencana. Meskipun Bond tidak merincinya sudah tentu bisa pula hal itu dilakukan melalui opini wartawan (by line story) atau berita interpretasi, jurnalistik essay, dan jurnalistik proses.
Ada dua prinsip filsafat jurnalistik yang mendasar menurut Muis (1999:30). Yaitu, publik harus diberikan apa yang mereka inginkan, dan publik juga harus diberikan informasi yang mengandung kebenaran karena hal itu memang dibutuhkan publik. Karena itu, jurnalistik memerlukan jaminan kebebasan.
Ada empat alasan bagi keberadaan jurnalistik menurut Frase Bond dalam Muis (1999:33). Yaitu memberikan informasi, membuat interpretasi, memberikan tuntutan dan untuk menyajikan hiburan. Kurang lebih sama dengan fungsi pers .

3. Media Online (Surat Kabar Elektronik)
Untuk mengetahui apa sebenarnya media online itu, terlebih dahulu kita pahami apa itu media. Media menurut Hafied (1999:119) adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologi memandang bahwa dalam komunikasi antarmanusia, maka media yang paling dominan dalam berkomunikasi adalah pancaindera manusia seperti mata dan telinga. Pesan-pesan yang diterima pancaindera selanjutnya diproses dalam pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan. Tetapi media yang dimaksud, ialah media yang digolongkan atas empat macam, yakni media antarpribadi, media kelompok, media publik, dan media massa.
Masalah globalisasi media massa dan informasi, sebenarnya berhadapan dengan masalah menipisnya batas-batas sistem komunikasi, budaya komunikasi, dan hukum komunikasi di masing-masing negara. Di bidang media dan informasi globalisasi menciptakan keseragaman pemberitaan serta preferensi acara liputan. Masing-masing sistem media seakan-akan menjadi bagian dari suatu jaringan informasi dan komunikasi internasional. Kegemaran masyarakat di seluruh dunia untuk memilih berita-berita luar negeri yang dipandang penting cenderung seragam (audience agenda). Dengan sendirinya, sistem media di masing-masing negara juga cenderung seragam dalam hal menentukan kejadian yang dipandang penting untuk diliput (media agenda). Menurut istilah John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1991) dalam Muis (2001:47), dunia kini menjadi sebuah global village.
Di awal Milenium III kalangan pakar teknologi komunikasi umumnya, berpendapat bahwa akan terjadi pemekaran jenis-jenis media komunikasi massa (Muis, 2001:04). Akan muncul jenis-jenis media baru yang sifatnya semakin canggih. Volume pesan-pesannya semakin besar dan kecepatannya kian tinggi.
Media online dianggap sebagai media masa depan, kala itu. Media online sudah mulai dikenal oleh masyarakat banyak sebagai sumber yang terpercaya. untuk beberapa kalangan tertentu, informasi dianggap sebagai sumber informasi aktual dan tercepat.
Kehadiran media online ini juga mengubah perilaku pembaca surat kabar. Survei yang dibuat oleh Jupiter sebuah perusahaan konsultan, menunjukkan bahwa 12 persen orang melihat breaking news melalui internet dulu, lebih banyak ketimbang melalui radio. Tetapi mereka tidak menginginkan artikel panjang, mereka ingin judul saja dan berita yang di update rutin (Kompas,3/10/1999).
Surat kabar elektronik ini sebenarnya lahir dalam istilah media kembar. Menurut Everett M Rogers (1972) dalam Muis (2001:143) sebetulnya terhadap media massa “konvensional” khalayak pun tak terlalu pasif karena khalayak memiliki sifat selektif baik untuk mendengar, menonton, atau membaca (selective exposure), keinginan untuk memberikan perhatian terhadap pesan (selective perception) maupun keinginan untuk mengingat pesan yang diterima (selective retention).
Terlepas dari itu apakah cybercommunication (jaringan internet global) itu bukan media massa atau media massa, yang penting adalah cirinya yang unik tersebut, dan menjadi referensi informasi serta saluran tambahan bagi media massa formal (Koran online atau media online).
Dalam konteks itu muncullah apa yang disebut media kembar. Dari segi hukum justru berita media kembar itu tetap bisa menjadi masalah. Bisa terjadi delik pers atau delik media massa. Pesan atau informasi yang anonim dari jaringan internet yang dirujuk oleh media massa itu sama halnya jika media massa membuat berita sendiri. Dengan demikian kebebasan media massa konvensional (Koran, radio, TV, film berita) tetap terikat pada rambu-rambu hukum di masing-masing negara. Misalnya kasus TIME vs mantan Presiden Soeharto, yang sebagian isi beritanya mungkin saja dikutip dari berita internet (Muis, 2001:47)

4. Asean




Peace
Stability
Courage
Dynamism
Purity
Prosperity

Asean atau Association of southeast asian nations merupakan perkumpulan negara-negara di Asia Tenggara. Saat ini, jumlah negara Asean yang tercatat adalah sepuluh negara, yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Asean dibentuk pada 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh lima negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Brunei Darussalam baru bergabung pada 8 Januari 1984, Vietnam pada 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar pada 23 Juli 1997 dan Kamboja pada 30 April 1999.
Daerah Asean berkisar pada 500 juta populasi dengan total area sekitar 4,5 juta kilometer persegi dengan produk domestik bruto 700 milyar US dolar dan perdagangan sekitar US$ 850 milyar.
Adapun deklarasi negara-negara Asean yaitu bahwa mereka memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan kehidupan sosial dan pengembangan budaya pada daerah.
2. Mempromosikan kedamaian dan stabilitas regional melalui rasa saling percaya untuk keadilan dan kepastian hukum di dalam hubungan antar negara dan keloyalan pada prinsip Piagam PBB.
Pada 2003, pemimpin tiap negara Asean menyepakati bahwa Asean harus dibangun dengan tiga pilar yaitu, Asean Security community, Asean Economic Community, dan Asean Socio-cultural community.
Untuk menjaga kesinambungan di organisasi Asean, maka dibuatlah beberapa poin kerja sama diantara negara-negara Asean.
1. Program ASEAN untuk Kesejahteraan sosial, Keluarga, dan Populasi;
2. Program ASEAN untuk HIV/ AIDS;
3. Program ASEAN untuk kepedulian terhadap orang-orang tua;
4. ASEAN harus berada pada posisi aman dan berada dalam jaringan yang sehat;
5. Program ASEAN juga mempersiapkan remaja ASEAN untuk bias menopang tenaga kerja dan tantangan lain dalam globalisasi;
6. AUN atau ASEAN University network mempromosikan kolaborasi diantara 17 universitas yang ada dalam keanggotaan ASEAN;
7. Diadakan program pertukaran pelajar ASEAN, Forum Budaya Muda, dan Forum Pembicara Remaja ASEAN;
8. Membuat Kegiatan rutin Asean berupa Minggu kultur, Asean youth camp, dan kuis ASEAN;
9. Program pertukaran media ASEAN;
10. Dasar dari Environmentally Sustainable Cities (ESC) dan perjanjian ASEAN untuk batas polusi tiap negara.
Sayangnya, dalam kesepakatan yang ditetapkan Asean, tak ada yang secara implisit menyinggung mengenai masalah human trafficking. Padahal menurut Cathleen Caron (2004), negara-negara Asean memiliki angka yang tinggi dalam hal perdagangan perempuan selain Cina dan Australia.
Dalam berbagai kajian tentang isu-isu global hubungan internasional, Asia Tenggara merupakan kawasan merah maraknya perdagangan manusia (trafficking). Pengiriman manusia ke berbagai daerah di kawasan ini secara ilegal sering luput dari perhatian pihak berwenang karena si pengirim tahu betul lintasan laut yang "aman" dari penjagaan polisi laut.
Biasanya perdagangan manusia di wilayah Asean hanya sebatas masalah antarnegara saja. Seperti yang terjadi antara Malaysia dan Indonesia. Antaranews.com (23/03/07) melaporkan sekitar 19 WNI yang ketahuan, menjadi korban perdagangan manusia. Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia berhasil menyelamatkan 19 orang wanita Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia, bahkan sebagian sempat dijadikan pekerja seks komersial (PSK) di negeri jiran ini.
Dalam pemeriksaan para wanita itu terungkap bahwa mereka adalah korban penipuan perdagangan manusia dengan modus menawarkan magang kerja di hotel luar negeri. Setiap calon korban dimintai uang masing-masing Rp3,5 juta dengan alasan untuk tiket pesawat, pengurusan visa dan akomodasi selama magang kerja. Namun mereka justru bekerja nonstop selama setahun penuh tanpa libur dan diupah hanya 400 ringgit Malaysia. Dari upah itu, 50 ringgit dipotong pihak agen tenaga kerja sehingga korban hanya menerima 350 ringgit atau sekitar Rp800 ribu perbulan. Imigrasi Malaysia akhirnya melepaskan keempat WNI setelah dijelaskan bahwa mereka jadi korban perdagangan manusia.



5. Human Trafficking
Secara sederhana, trafficking adalah sebuah bentuk perbudakan modern (www.stoptrafiking.or.id). Kebanyakan korban trafficking dirayu ke kota besar atau ke luar negeri dengan janji diberi pekerjaan menarik seperti pelayan, penjaga toko dan pekerja rumah tangga, tapi malah ditipu dan dipaksa ke dalam pekerjaan yang menyiksa atau bahkan prostitusi. Siapapun bisa menjadi korban trafficking. Namun, kebanyakan korban adalah perempuan desa yang berpendidikan rendah dan anak-anak yang tidak menyadari tanda-tanda bahaya atau tidak mampu bermigrasi kerja secara aman. Mereka rentan dan mudah ditipu.
Trafficking berarti perpindahan. Jadi, artinya adalah perpindahan atau migrasi – yang berarti korban dibawa keluar dari kampung halamannya yang aman ke tempat berbahaya dan dikerjapaksakan – inilah yang membedakan trafiking dari bentuk pelanggaran hak asasi lainnya (intisari buku manual pelatihan “Derita Bisu” Bab II, stoptrafiking.or.id)
Ada beberapa bentuk trafiking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak:
Pertama, Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks – baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, Pembantu Rumah Tangga, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, beberapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.
Kedua, Pembantu Rumah Tangga (PRT) – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
Ketiga, Kerja Migran – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
Keempat, Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya – terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
Kelima, Pengantin Pesanan – terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
Keenam, Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak – terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.
Ketujuh, Trafiking/penjualan Bayi – baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.



Definisi Trafficking Menurut PBB
Definisi yang paling banyak diterima di seluruh dunia adalah definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengatakan bahwa trafiking adalah: "perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan atau penerimaan orang ini, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan seseorang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.” (Suplemen konvensi PBB mengenai kejahatan transnasional,2000)

Sebab-Sebab Terjadinya Perdagangan Manusia (Human Trafficking)
Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafficking manusia. Trafficking disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Termasuk kedalamnya adalah:
1. Kurangnya Kesadaran: Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya trafiking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
2. Kemiskinan: Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman.
3. Keinginan cepat kaya: Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat orang-orang yang bermigrasi rentan terhadap trafiking.
4. Faktor Budaya
Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya trafiking:
a. Peran Perempuan dalam Keluarga: Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka.
b. Peran Anak dalam Keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking. Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
c. Perkawinan Dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
d. Sejarah Pekerjaan karena Jeratan Hutang: Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
e. Kurangnya Pencatatan Kelahiran: Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya.
f. Kurangnya Pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
g. Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum: Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akta kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafiking.

B. Teori Pendukung
1. Dasar konseptual Analisis Isi
Analisis isi menjadi pilihan untuk teknik penelitian menemukan data dari sebuah isi media. Analisis isi menurut Siahaan dkk (2001:71) merupakan metode penelitian untuk membuat inferensi-inferensi dengan mengidentifikasi secara sistematik dan objektif karakteristik-karakteristik khusus dalam sebuah teks.
Metode ini mampu dalam hal pertama, menerima bentuk komunikasi simbolik yang relatif tak berstruktur sebagai data. Dan kedua, menganalisis gejala yang tak teramati (unobserved) melalui medium data yang berkaitan dengan gejala tersebut.
Menurut Ana Nadhya Abrar dalam Siahaan dkk (2001:71), jurnalisme memandang analisis isi sebagai metode penelitian sosial kuantitatif, digunakan dalam praktek jurnalisme presisi maka disebut pula sebagai a standard sociological technique. Analisis isi merupakan metode yang sistematik untuk menganalisis pesan, dan bagaimana pesan itu disampaikan.
Pendapat Abrar sejalan dengan definisi yang dikemukakan Fred N. Kerlinger dalam Siahaan dkk (2001:72), yakni suatu metode untuk mengkaji dan menganalisis komunikasi dengan cara sistematis, objektif, dan kuantitatif, untuk mengukur variabel.
Holsti (1969) dalam Siahaan dkk (2001;72) merumuskan lebih luas. Ia menempatkan data dalam konteks komunikasi antara pengirim dan penerima pesan, serta memandang analisis isi dalam kaitan tiga tujuan pokok, yakni pertama, mendeskripsikan karakteristik-karakteristik komunikasi dengan mengajukan pertanyaan apa, bagaimana, kepada siapa sesuatu dikatakan. Kedua, membuat inferensi-inferensi mengenai anteseden-anteseden komunikasi dengan mengajukan pertanyaan mengapa sesuatu dikatakan. Dan ketiga, membuat inferensi-inferensi mengenai akibat-akibat komunikasi dengan mengajukan pertanyaan akibat apa yang akan terjadi jika sesuatu dikatakan.
Arthur Asa Berger dalam Siahaan dkk (2001:72) memberikan definisi analisis isi tidak hanya mengenai aspek kuantifikasinya, tapi juga teknik pengambilan sampelnya. ia mengatakan, analisis isi merupakan sebuah teknik riset yang mendasarkan diri pada pengukuran (penghitungan) jumlah sesuatu (kekerasan, persentase orang negro, wanita, tipe-tipe profesional, atau apapun) melalui random sampling dari beberapa bentuk komunikasi (seperti komik, komedi situasi, opera sabun, news shows, dan sebagainya. Asumsi dasar yang implisit dalam analisis isi adalah sebuah investigasi terhadap pesan dan komunikasi akan memberi wawasan mengenai orang-orang yang menerima pesan tersebut.
Analisis isi didesain untuk mendapatkan sebuah perhitungan objektif, terukur, dan terifikasi terhadap isi pesan yang manifes, dengan menganalisis tatanan denotatif penanda (signification). Analisis isi sangat baik bila digunakan dalam skala besar -semakin besar unit analisisnya, semakin akurat.
Analisis Isi dalam Genda (2006:15) sebenarnya jauh lebih tua dari zamannya. jauh sebelum teknik ini diperkenalkan dengan nama content analysis, beberapa sosiolog, sejarawan, dan kritikus sastra telah memakai teknik content analysis, misalnya Max Weber (the protestan ethic and the spirit of capitalism), William I. thomas dan Florian Znaniecki (the polish peasant in Europe and America), Pitirim A. Sorokin (social and cultural dynamics). Content analysis -seperti didefinisikan Bernard Berelson (1952) sebagai teknik riset yang mendiskripsikan isi komunikasi secara objektif, sistematik dan kuantitatif -pertama kali digunakan mahasiswa publisistik di Amerika Serikat yakni M.M Willey, the country newspaper, a study of socialization and newspaper content, 1926.
Suwardi dalam Genda (2006:53) mengutarakan salah satu cara analisis isi adalah manifest content, merupakan analisis isi yang dilakukan terhadap suatu pesan komunikasi secara eksplisit ada, bukan yang implisit atau apa yang menurut interpretasi si peneliti makna yang terkandung di balik isi pesan yang bersangkutan. Ini berarti, suatu analisis isi dilakukan sesuai dengan apa yang tertulis atau tercetak dalam media yang bersangkutan. Cara ini pernah diutarakan oleh Lasswell dan Leites. Keduanya berpendapat bahwa dengan manifest dimaksud : membaca seperti apa adanya dan yang jelas dinyatakan secara terbuka di dalam media yang diamati.
Penelitian yang telaahnya mendalam terhadap tema dan peristiwa (even) suatu berita dikaitkan, menurut Suwardi dalam Genda (2006:53) penelitian demikian tidaklah berdiri sendiri di dalam analisisnya, karena suatu analisis isi akan kurang makna interpretasinya apabila tidak dikaitkan dengan situasi lingkungan pada saat suatu peristiwa terjadi.
Oleh karena itu pendekatan yang sifatnya analisis isi didukung oleh suatu analisis yang sifatnya tidak tekstual saja, tetapi juga kontekstual. Analisis tekstual menurut Suwardi merupakan suatu analisis isi yang menggantungkan sumber analisisnya dari apa yang tertulis atau tercetak dari media yang diamati.
Sedangkan yang dimaksud analisis kontekstual adalah analisis yang mendasarkan sumber analisisnya tidak hanya dari apa yang tertulis atau tercetak tetapi juga dikaitkan dengan event pada waktu suatu peristiwa terjadi. Artinya, bagaimana situasi lingkungan mempengaruhi penulisan suatu berita dan apa yang tersirat di dalamnya.
Pelaksanaan analisis isi haruslah obyektif dan sistematik, kedua syarat tersebut di atas membedakan antara analisis isi dengan pembacaan dokumen sehari-hari. Sistematisasi menghendaki penerapan taat asas (konsisten) dalam pembuatan kategori-kategori isi.
Analisis isi digunakan apabila menyangkut 3 permasalahan sebagai berikut:
a. Data yang tersedia sebagian besar terdiri atas bahan-bahan yang terdokumentasi. Para analisis yang mampu secara langsung mencapai subjek-subjek yang akan diteliti mempertimbangkan teknik penelitian lain. Tetapi bila terdapat keterbatasan waktu dan jarak yang tidak memungkinkan mencapai subjek maka analisis isi patut dipertimbangkan. Terlebih jika orang yang aka diteliti telah meninggal. Analisis isi juga dapat menjadi pelengkap sumber data. Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan hasil interviu dan kuesioner dengan hasil analisis isi.
b. Memberikan unsur-unsur teori data tersebut karena bahasa yang diperlukan oleh subjek yang diteliti sangat sulit dipahami penganalisaan hasil interviu “proyective test” data dokumentasi psikiatris.
c. Si peneliti memiliki kemampuan teknis karena seringkali volume materi melebihi kemampuan meneliti untuk menanganinya dalam penelitian mengenai surat kabar, majalah film, radio, buku. Yang sering dianalisis seluruh data yang relevan maka cara terbaik adalah menganalisa “sampel” dari materi tersebut.

Menurut Wazer dan Wiener (1978) dalam Bulaeng (2000:158) analisis isi adalah suatu prosedur sistematik yang disusun untuk menguji isi informasi yang terekam. Krippendoft (1980) mendefinisikan analisis isi suatu penelitian untuk membuat referensi-referensi valid dan dapat ditiru dari data ke konteks.
Definisi Kerlinger (1986) agak khas, yaitu: bahwa analisis isi adalah suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematis obyektif dan secara kuantitatif untuk mengukur variabel. (Bulaeng, 2000:158). Dalam definisi Kerlinger ada tiga konsep yang mencakup di dalamnya. Pertama, analisis ini bersifat sistematis. Ini berarti bahwa isi yang akan dianalisis dipilih menurut aturan-aturan yang ditetapkan secara implisit dan eksplisit misalnya: cara penentuan sampel. Kedua, analisis isi bersifat obyektif. Ketiga, analisis si bersifat kuantitatif.
Setiap pemberian kode, pengklasifikasian dan penetapan kategorisasi dalam content analysis, maka peneliti adalah hakim yang bertanggung jawab bagi penelitiannya.
Koding (Bulaeng, 2000:155) adalah suatu data mentah yang secara sistematis ditransformasikan ke dalam unit-unit yang memungkinkan membuat deskripsi karakteristik isi yang relevan. Peraturan koding, memberikan konsep operasional antara data peneliti-peneliti, teori-teori, serta hipotesis. “Koding” merupakan bagian dari dasar-dasar pembuatan rancangan penelitian. Pada titik ini diambil keputusan mengenai pembuatan kategori-kategori, unit-unit isi dan sistem perhitungan. Angka dan tipe-tipe kategori, unit-unit isi dan sistem perhitungan. Hal ini bisa termasuk orang-orang, kelompok, kecenderungan-kecenderungan, kebijaksanaan-kebijaksanaan, gagasan-gagasan, saran-saran, nilai-nilai, metode-metode, dan lain-lain. Setelah koding adalah penyelesaian unit-unit isi bisa kita lihat artikel-artikel, kata-kata, simbol-simbol, paragprap, kalimat, item-item. Karena tugas didasarkan pada beberapa media, kesimpulannya tidak dapat digeneralisasikan.

Kegunaan Analisis Isi
Ada lima tujuan analisis isi: (1). Menggambarkan isi komunikasi, (2). Menguji hipotesis karakteristik-karakteristik suatu pesan, (3). Membandingkan isi media dengan dunia nyata, (4). Melalui imej suatu kelompok tertentu dan masyarakat, dan (5). Menciptakan titik awal terhadap studi efek media.

Keterbatasan analisis isi
Analisis isi sendiri tak dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuat pertanyaan-pertanyaan tentang efek-efek isi pada audiens. Temuan-temuan dalam analisis isi tertentu dibatasi oleh kerangka kategori-kategori dan definisi yang digunakan dalam analisis isi adalah kurangnya pesan-pesan yang relevan dengan penelitian tersebut. Banyak topik atau karakter yang mendapatkan terpaan yang relatif kecil dalam media massa.

2. Analisis Wacana
Karena penelitian ini mengkombinasikan antara analisis isi dengan analisis wacana, maka perlu kiranya dipaparkan sedikit tentang analisis wacana.
Wacana merupakan ungkapan pikiran manusia dalam bentuk bahasan, baik lisan maupun media. Menurut Webster dalam Sobur (2001:9-10), wacana mengandung arti komunikasi pikiran dengan kata-kata, ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan, dan komunikasi secara umum, terutama sebagai subjek studi atau pokok telaah, serta risalah tulis seperti disertasi formal; kuliah, ceramah, dan khotbah.
Samsuri dalam Sobur (2001:10) mendefinisikan wacana sebagai rekaman bahasa yang utuh tentang peristiwa komunikasi, terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain disampaikan secara lisan maupun dalam bentuk tertulis.
Leo Kleden dan James Lull dalam Sobur (2001:11) memberikan pengertian secara sederhana. Menurut Lull, wacana adalah cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik. Sedangkan menurut Kleden, wacana merupakan ucapan sesuatu tentang sesuatu kepada pendengar, dan selalu mengandalkan pembicara atau penulis mengenai apa yang dibicarakan kepada pendengar atau pembaca.
Tujuan umum wacana adalah untuk menyampaikan ide atau gagasan kepada publik untuk diketahui masyarakat atau khalayak sebagai suatu pengetahuan (kognisi), selanjutnya terjadi perubahan sikap (attitude change) yang berdampak pada perubahan sosial (social change) kemasyarakatan).
Stephen W Little Jauh dalam Genda (2006:21) menyatakan studi tentang struktur pesan merupakan analisis wacana dengan memperhatikan: pertama, mengenai cara-cara wacana susun, dimana komunikator berdasar atas prinsip menghasilkan pemahaman atas percakapan dan pesan-pesan lainnya, dengan cara langsung atau nonverbal, dengan melihat pesan tunggal terstruktur. Kedua, wacana dipandang sebagai aksi dalam bentuk kata-kata atau tulisan untuk mencapai suatu tujuan, dengan memperhatikan bagaimana pembicara menyusun kata-kata. Ketiga, mencari prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual berdasarkan perspektif mereka dengan tidak memperhatikan ciri atau sifat psikologis yang tersembunyi dari mereka.
Secara umum pendekatan untuk menganalisis teks media masih tetap berpatokan pada pendekatan dasar dalam menganalisis isi (content analysis) secara tradisional. Menurut Denis McQuail dalam Genda (2006:22), pendekatan dasar adalah (1) memilih contoh (sample) atau keseluruhan isi;(2) menetapkan kerangka kategori acuan eksternal yang relevan dengan tujuan pengkajian (misalnya sekelompok politik atau negara); (3) memilih satuan analisis isi (kata, kalimat, alinea, kisah, gambar, urutan, dan sebagainya); (4) menyesuaikan isi dengan kerangka kategori, persatuan unit yang terpilih; (5) mengungkapkan hasil sebagai distribusi menyeluruh dari semua satuan atau sampel dalam hubungannya dengan frekuensi kejadian terhadap hal-hal yang dicari untuk menjadi acuan.

3. Teori Agenda Setting
Teori Agenda Setting yang diistilahkan oleh McCombs dan Shaw (1972) dalam McQuail (1996:247) digunakan untuk melukiskan gejala yang telah lama diperhatikan dan ditelaah dalam konteks kampanye pemilihan dalam artian umum. Contohnya adalah situasi dimana para politikus berusaha meyakinkan para pemilih tentang apa yang merupakan bagian yang paling penting dari anjuran dan upaya pembentukan opini. Trenaman dan McQuail (1996:247) mengemukakan: “Ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa orang –orang berpikir tentang apa yang diberitahukan kepada mereka...tetapi memandang hal itu tanpa dampak perilaku”.
Telah dikemukakan bahwa media menawarkan perwakilan realitas masyarakat dan beberapa aspek dari hakikat ‘realitas’. Salah satu dampak yang mungkin telah diperbincangkan adalah adanya pengaturan agenda (agenda setting). Apabila media dapat menyampaikan kesan tentang prioritas dan mengarahkan perhatian pada berbagai isu dan masalah secara selektif, maka media dapat berbuat lebih banyak. Langkah dari proses pemeringkatan seperti itu ke pembentukan opini yang lebih luas bukanlah langkah besar, dan teori sosialisasi media memuat unsur itu. Proses dasarnya dapat dilukiskan dengan istilah umum sebagai ‘penentuan situasi’ dan kadar pentingnya terletak pada pernyatan sosiologis yang dikumandangkan WI Thomas (Mc Quail, 1996:252) bahwa ‘apabila orang memandang situasi sebagai sesuatu yang nyata, maka konsekuensi situasi itu pun nyata’.
Dalam contoh pemilihan keputusan politik, kecenderungan penetapan keputusan masyarakat akan pilihannya itu semakin besar seolah –olah memang media massa yang mengatur “agenda” dan menetapkan masalah atas dasar harian secara berkesinambungan sedangkan partai politik dan para politikus semakin tanggap akan pandangan konsensus tentang hal –hal yang seyogyanya dilakukan.
Meskipun komunikasi massa dapat dikatakan sebagai transmisi pesan satu arah yang sasarannya adalah orang banyak, tetapi kita juga telah diingatkan bahwa komunikasi massa mencakup pelbagai ragam tujuan dan hubungan komunikasi. Beberapa hal penting yang berkenaan dengan keanekaragaman tersebut meliputi: apakah pengiriman itu diarahkan dan disengaja atau tidak; apakah penerimaannya juga ditopang oleh motivasi dan keaktivan yang berkadar sama atau tidak; bentuk dan jauh –dekatnya hubungan antara khalayak dengan komunikator . Salah satu pokok pikiran yang menonjol menyajikan modal komunikasi sebagai suatu proses pertunjukan/ sajian (display) dan perolehan perhatian, bukannya ekspresi, persuasi aau informasi. Dilihat dari sudut pandang para komunikator massa, model tersebut sekurang-kurangnya dapat mencakup aspek penting reaitas komunikasi massa. Tambahan pula, model tersebut membantu kita untuk memahami ragam isi dan pola formasi, serta tanggapan (reaksi) khayalak yang tipikal. Hal penting menyangkut model itu ialah model tersebut mewakili kegiatan pelbagai ragam komunikasi massa yang pada hakekatnya diarahkan untuk memperoleh perhatian dari calon ‘penonton’ yang tidak dikenal dan tetap mengupayakan agar calon ‘penonton’ itu tetap memberikan perhatiannya.
Model ini membantu menerangkan beberapa aspek kegiatan organisasi yang berkenaan dengan perolehan khalayak baik sebgai tujuan yang tersendiri, maupun sebgai sumber pendapatan, serta sebagai suatu kriteria keberhasilan. Di samping itu, model tersebut merupakan komponen penting dalam setiap penjelasan menyangkut nilai berita, nilai penyajian, pilihan bentuk dan format. Tambahan pula, model ini menyumbangkan konsep khalayak yang utuh.
Akhirnya, hal yang mungkin paling penting dalam model tersebut adalah konsep perhatian dipandang sebagai efek yang tersendiri dan sebagai unsur yang diperlukan oleh kebanyakan efek lainnya, baik diinginkan atau tidak diinginkan. Sebagai kunci bagi pelbagai efek lain, tentu saja perhatian merupakan persyaratan untuk penataan agenda, penentuan realitas serta pemberian dukungan pendapat. Perhatian memiliki peran penting pada sejumlah besar efek perilaku. Misalnya peniruan (imitasi), pemberian dorongan gerak, dan sebagainya. Pemberian perhatian dapat mengambil bahan dari beberapa sumber; keadaan masyarakat; anggota masyarakat itu sendiri (kebutuhan, kepentingan, pengetahuan, watak); upaya media itu sendiri untuk memperoleh perhatian.

4. Teori Normatif- Perbandingan Pers
Salah satu teori yang berhubungan dengan perkembangan media massa adalah teori normatif (McQuail, 1996:109). Dalam teori ini konsep hubungan dinyatakan secara jelas. Di samping itu, teori tersebut mengandung beberapa pandangan tentang harapan masyarakat terhadap media dan peran seharusnya dimainkan media. Meskipun setiap bangsa memiliki teori normatifnya sendiri, namun masih terdapat beberapa prinsip umum yang dapat digunakan untuk mengklasifikasi berbagai konsep khusus yang dianut oleh berbagai bangsa.
Upaya pertama yang mencoba membedakan beberapa teori besar menyangkut media berawal pada tahun 1956 (Siebert dan kawan-kawan). Empat klasifikasi yang diciptakan oleh Siebert dan kawan-kawannya masih dipakai meskipun sudah ditambah dengan dua klasifikasi lainnya, sebagai bukti diterimanya perkembangan baru dalam segi pemikiran
a. Teori Otoriter
Teori ini mengidentifikasi, pertama, pengaturan pers tentang kapan dan dimana pers mulai dalam masyarakat, untuk hampir semua bagian monarki dimana pers tunduk pada kekuasaan negara dan kepentingan kelas penguasa.
Teori otoriter membenarkan adanya sensor pendahuluan dan hukuman atas penyimpangan dari pedoman yang ditetapkan secara eksternal yang khususnya cenderung berlaku bagi hal-hal yang bersifat politis atau segala sesuatu yang memiliki implikasi ideologis yang jelas. Bentuk pengungkapan dan pemerkuatan teori otoriter tampak sangat beragam, termasuk melalui: peraturan perundang-undangan; pengendalian produksi secara langsung oleh pemerintah negara; kode etik yang dapat diberlakukan; pajak dan jenis sanksi ekonomi lainnya; pengendalian impor media mancanegara; hak pemerintah untuk mengangkat staf redaksi.
Prinsip utama teori ini dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
 Media seyogyanya tidak melakukan hal yang dapat merusak wewenang yang ada.
 Media selamanya (akhirnya) harus tunduk pada penguasa yang ada.
 Media seyogyanya menghindari perbuatan yang menentang nilai-nilai moral dan politik atau dominan mayoritas.
 Penyensoran dapat dibenarkan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini.
 Kecaman yang tidak dapat diterima terhadap penguasa, penyimpangan dari kebijaksanaan resmi, atau perbuatan yang menentang kode moral dipandang sebagai perbuatan pidana.
 Wartawan atau ahli media lainnya tidak memiliki kebebasan di dalam organisasi medianya.
b. Teori Pers Bebas
Teori ini sederhana dan merupakan teori yang berisi atau menimbulkan ketidakonsistenan mendasar. Dalam bentuk yang paling dasar teori ini hanya menyatakan bahwa seseorang seyogyanya bebas mengungkapkan hal-hal yang disukainya dan karenanya merupakan peluasan hak-hak lainnya –yaitu hak untuk berpendapat secara bebas dan hak untuk mengungkapkan pendapat itu, serta hak untuk bergabung dan berserikat dengan yang lain. Dengan demikian, prinsip dan nilai-nilai yang mendasarinya identik dengan prinsip dan nilai-nilai negara demokrasi liberal, yakni keyakinan akan keunggulan individu, akal sehat, kebenaran dan kemajuan, dan akhirnya, kedaulatan rakyat.
Kelebihan pers bebas adalah bahwa ia memungkinkan pengungkapan ini dan memungkinkan “masyarakat” mengetahui aspirasi anggotanya. Kebenaran, kesejahteraan, dan kebebasan harus berjalan seiring dan pengendalian pers akhirnya hanya akan menimbulkan ketidaknalaran dan penekanan, meskipun tampaknya hal itu dapat dibenarkan dalam jangka pendek.
Di hampir semua masyarakat yang telah mengakui kebebasan pers, pemecahannya adalah membebaskan pers dari sensor pendahuluan tetapi pers tidak bebas dari peraturan perundang-perundangan yang mengatur setiap konsekuensi aktivitasnya yang melanggar hak orang lain dan tuntutan sah dari masyarakat. Perlindungan terhadap orang-orang secara individu, kelompok, minoritas (atas reputasi, harta benda, kemerdekaan pribadi, perkembangan moral mereka), serta keamanan dan bahkan kehormatan negara seringkali lebih diutamakan daripada nilai mutlak kebebasan untuk mempublikasikan.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar masalah dan ketidakonsistenan teori ini. Pertama, tidak sangat jelas tentang sejauh mana teori itu dapat dipandang berlaku bagi siaran publik, yang sekarang bertanggung jawab bagi sebagian besar aktivitas media dalam masyarakat yang masih tetap terkait dengan idaman kemerdekaan perorangan, dan sesungguhnya, seberapa jauh hal itu berlaku bagi lingkup aktivitas komunikasi yang penting lainnya dimana kebebasan mungkin sama pentingnya –seperti dalam pendidikan, kebudayaan, dan kesenian.
Kedua, teori ini tampaknya dirancang untuk melindungi opini dan keyakinan serta kurang bernilai “informasi”.
Ketiga, teori ini telah terlalu sering dirumuskan untuk melindungi pemilik media dan tidak dapat memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan pendapat tentang hak para editor dan wartawan yang dapat dipersoalkan dalam pers, atau hak audiens, atau pewaris lain yang mungkin, atau korban dari pengungkapan bebas.
Keempat, teori ini mengharamkan pengendalian wajib tetapi tidak memberikan cara yang jelas untuk mengatasi berbagai tekanan yang ditujukan pada media, khususnya, namun bukan satu-satunya, yang timbul dari lingkungan pasar.
Atas dasar uraian tersebut. gagasan tentang pers bebas dapat diungkapkan dalam beberapa prinsip berikut:
 Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihak ketiga.
 Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi.
 Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda dari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dan gangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan setelah terjadinya peristiwa itu.
 Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal.
 Publikasi “kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran, dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.
 Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upaya pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.
 Seyogyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor atau ekspor atau pengiriman atau penerimaan “pesan” di seluruh pelosok negeri.
 Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang sangat tinggi di dalam organisasi mereka.

c. Teori Tanggung Jawab Sosial.
Teori tanggung jawab sosial berasal dari inisiatif orang Amerika –Komisi Kebebasan Pers atau the Commission on Freedom of the Press (Hutchins, 1947). Pendorongnya yang utama adalah tumbuhnya kesadaran bahwa dalam hal-hal tertentu yang penting, pasar bebas telah gagal untuk memenuhi janji akan kebebasan pers dan untuk menyampaikan maslahat yang diharapkan bagi masyarakat.
Teori ini mengawinkan kemandirian dengan kewajiban terhadap masyarakat. Landasannya yang utama adalah: asumsi bahwa media melakukan fungsi yang esensial dalam masyarakat, khususnya dalam hubungannya dengan politik demokrasi; pandangan bahwa media seyogyanya menerima kewajiban untuk melakukan fungsi itu –terutama dalam lingkup informasi, dan penyediaan mimbar bagi berbagai pandangan bahwa ada standar prestasi tertentu dalam karya media yang dapat dinyatakan dan seyogyanya dipedomani.
Teori tanggung jawab sosial berusaha memadukan tiga prinsip yang agak berbeda: prinsip kebebasan dan pilihan individual; prinsip kebebasan media; dan prinsip kewajiban media terhadap masyarakat. Teori ini memiliki dua bentuk penanggulangan utama yang paling disukai. Pertama, adalah pengembangan lembaga publik, tetapi mandiri, untuk mengelola siaran, pengembangannya kemudian berpengaruh pada peningkatan cakupan dan kekuatan politis dari konsep tanggung jawab sosial. Kedua, adalah pengembangan profesionalisme lebih lanjut sebagai sarana untuk mencapai standar prestasi yang lebih tinggi, pada saat yang sama mempertahankan pengaturan oleh media sendiri.
Prinsip utama teori tanggung jawab sosial adalah sebagai berikut:
 Media seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat. (public’s right to know)
 Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas, dan keseimbangan.
 Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
 Media seyogyanya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama.
 Media secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
 Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum (public good).
 Wartawan dan media profesional seyogyanya bertanggung jawab terhadap masyarakat dan juga kepada majikan serta pasar

d. Teori Media Soviet
Teori ini lebih kental pada pers Rusia dan media lain yang direorganisasi sepenuhnya setelah Revolusi 1917, dan dilengkapi dengan teori yang berasal dari postulat dasar Marx dan Engels, serta kaidah penerapan Lenin. Gagasan yang paling penting adalah sebagai berikut. Pertama, kelas pekerja berdasarkan definisi memegang kekuasaan dalam masyarakat sosialis dan, untuk tetap berkuasa, semua media harus tunduk pada pengendalian kelas pekerja –terutama Partai Komunis.
Kedua, masyarakat sosialis adalah atau diharapkan menjadi masyarakat kelas dan karenanya tidak mengandung konflik kelas, sehingga pers seyogyanya tidak distruktur sejalan dengan konflik politik.
Ketiga, pers memainkan peran positif dalam pembentukan masyarakat dan gerakan ke arah komunisme dan hal ini menunjukkan sejumlah fungsi yang penting bagi media dalam sosialisasi, pengendalian sosial informal, dan mobilisasi untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi yang terencana.
Keempat, marxisme masyarakat hukum sejarah obyektif dan karenanya pers harus mencerminkan realitas obyektif.
Akhirnya, teori umum negara Soviet menyaratkan agar media menyerahkan pengendalian akhir kepada organ negara dan, dalam berbagai tingkat, dipadukan dengan instrumen lain dari kehidupan politik.
Intisari dari teori ini adalah sebagai berikut:
 Media seyogyanya melayani kepentingan dari, dan berada di bawah pengendalian, kelas pekerja.
 Media seyogyanya tidak dimiliki secara pribadi.
 Media harus melakukan fungsi positif bagi masyarakat dengan: sosialisasi terhadap norma yang diinginkan; pendidikan; informasi; motivasi; mobilisasi.
 Di dalam tugas menyeluruhnya bagi masyarakat, media seyogyanya tanggap terhadap keinginan dan kebutuhan audiensnya.
 Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya untuk mencegah, atau menghukum setelah terjadinya peristiwa, publikasi anti masyarakat.
 Media perlu menyediakan pandangan yang purna (complete) dan obyektif tentang masyarakat dan dunia, dalam batas-batas prinsip marxisme –leninisme.
 Wartawan adalah ahli yang bertanggung jawab yang tujuan dan cita-citanya seyogyanya serupa dengan kepentingan terbaik masyarakat.
 Media hendaknya mendukung gerakan progresif di dalam dan di luar negeri.

e. Teori Media Pembangunan
Titik tolak bagi “teori pembangunan” yang tersendiri tentang media massa ialah adanya fakta beberapa kondisi umum negara berkembang yang membatasi aplikasi teori lain atau mengurangi kemungkinan maslahatannya. Salah satunya kenyataan adalah tidak adanya beberapa kondisi yang diperlukan bagi pengembangan sistem komunikasi massa: infrastruktur komunikasi; keterampilan profesional; sumber daya produksi dan budaya; audiens yang tersedia. Faktor lain, yang berhubungan, adalah ketergantungan pada dunia maju (Dunia I) telah berkembang atas hal-hal yang menyangkut produk teknologi, keterampilan, dan budaya. Ketiga, masyarakat sedang berkembang sangat gandrung menekankan pembangunan ekonomi, politik, dan sosial sebagai tugas utama nasional, untuk mana semua lembaga lain harus bermuara. Keempat, fakta semakin menunjukkan bahwa negara sedang berkembang menyadari keserupaan jati diri dan kepentingan mereka dalam politik internasional.
Satu hal yang paling menyatukan teori media pembangunan adalah penerimaan pembangunan ekonomi itu sendiri (yang karenanya perubahan sosial), dan seringkali “pembangunan bangsa” (nation –building) yang bersangkutan sebagai tujuan utama. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebebasan tertentu dan para wartawan tunduk pada tanggung jawab mereka untuk membantu pencapaiannya. Pada saat yang sama, yang ditekankan adalah tujuan kolektif dan bukan kebebasan individu. Unsur yang relatif baru dalam teori media pembangunan adalah penekanan pada “hak untuk berkomunikasi”, yang didasarkan atas Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Manusia: “Setiap orang memiliki hak mengeluarkan pendapat; hak ini mencakup kebebasan menganut pendapat tanpa gangguan dan kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui media mana pun tanpa mempersoalkan batas negara.” Meskipun sukar menemukan kasus-kasus individu yang jelas menunjukkan teori media pembangunan.
Prinsip utama teori ini dapat diungkapkan sebagai berikut:
 Media seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas pembangunan positif sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional.
 Kebebasan media seyogyanya dibatasi sesuai dengan (1) prioritas ekonomi dan (2) kebutuhan pembangunan masyarakat.
 Media perlu memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional.
 Media hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya pada negara sedang berkembang lainnya yang erat kaitannya secara geografis, kebudayaan, atau politik.
 Para wartawan dan karyawan media lainnya memiliki tanggung jawab serta kebebasan dalam tugas mengumpulkan informasi dan penyebarluasannya.
 Bagi kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak untuk campur tangan dalam atau membatasi, pengoperasian media serta sarana penyensoran, subsidi, dan pengendalian langsung dapat dibenarkan.

f. Teori Media Demokratik –Partisipan
Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori lain dan pengalaman aktual dan sekaligus sebagai gerakan positif ke arah bentuk baru lembaga media.
Lokasinya terutama dalam masyarakat liberal yang telah berkembang tetapi ia bergabung dengan beberapa unsur yang ada dalam teori media pembangunan, khususnya penekanannya pada “basis” masyarakat, pada nilai komunikasi horizontal, dan bukan pada komunikasi vertikal. Stimulus utama teori ini adalah reaksi terhadap komersialisasi dan pemonopolian media yang dimiliki secara pribadi dan terhadap sentralisme dan birokratisasi lembaga penyiaran publik, yang diadakan sesuai dengan norma tanggung jawab sosial.
Dengan demikian, titik sentral teori demokratik –patisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi “penerima” dalam masyarakat politik. Ini ada hubungannya dengan hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak untuk menggunakan sarana komunikasi untuk berinteraksi dalam kelompok masyarakat berskala kecil, kelompok kepentingan sub budaya. Teori ini menolak keharusan adanya media yang seragam, disentralisasi, mahal, sangat diprofesionalkan, dan dikendalikan oleh pemerintah. Teori ini lebih condong pada keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, deinstitusionalisasi, pertukaran peran antara pengirim dengan penerima, hubungan komunikasi horizontal pada semua tingkat masyarakat, dan interaksi.
Ikhtisar rumusan prinsip teori ini dapat disajikan sebagai berikut:
 Warga negara secara individu dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan media (hak untuk berkomunikasi) dan hak untuk dilayani oleh media sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri (public’s right to know)
 Organisasi dan isi media seyogyanya tidak tunduk ada pengendalian politik yang dipusatkan atau pengendalian birokrasi negara.
 Media seyogyanya ada terutama untuk khalayaknya. Dan bukan untuk organisasi media, para ahli atau pelanggan media tersebut.
 Kelompok, organisasi, dan masyarakat lokal seyogyanya memiliki media sendiri (community media).
 Bentuk media yang berskala kecil, interaktif, dan partisipatif lebih baik ketimbang media berskala besar, satu arah, dan diprofesionalkan.
 Kebutuhan sosial tertentu yang berhubungan dengan media massa tidak cukup hanya diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga hanya diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga melalui negara dan berbagai lembaga utamanya.
 Komunikasi terlalu penting untuk diabaikan oleh para ahli.

C. Hasil Penelitian yang Relevan
Penulis mengambil tema dan metode penelitian ini didasari oleh beberapa penelitian sebelumnya.
1. Penelitian yang dlakukan oleh Ginish J Gulati pada 2006 berjudul “Media Representation human Trafficking in the US and Europe”. Penelitian ini merupakan paper yang dipresentasikan pada “The Annual Meeting of the NCA 94 th, Annual Convention, TBA, di San Diego. Penelitian ini mengkaji liputan media tentang perdagangan manusia pada tahun 2006 di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Cakupan telah disajikan dalam suatu kejahatan atau kerangka hukum; kisah hanya menyajikan berbagai sudut pandang terbatas pada penyebab trafiking dan solusi yang mungkin, dan media telah mengandalkan pada kelompok terbatas dan eksklusif sumber, sebagian besar yang memiliki perspektif kelembagaan, penelitian ini meperlihatkan jarangnya persaingan dalam menyajikan perspektif atau kritik dari feminis dan pembela hak-hak pekerja seks.
2. Fahy, Stephani, Farrel, Amy dan Mc Devitt berjudul “ Human Trafficking: Media Recognation of a Historic problem”, paper pada The Annual meeting of the American Society of Criminology(ASC), Los Angeles, November 2006. Penelitian ini menyajikan tentang Negara Federal dan negara bagian yang berinisiatif memerangi perdagangan. Mereka telah menghasilkan investasi sumber daya yang signifikan untuk meningkatkan penyidikan dan penuntutan pelaku trafiking. Sementara beberapa penelitian telah meneliti proses melalui mana perdagangan manusia muncul di legislatif dan agenda politik, hanya ada sedikit penelitian mengenai peristiwa penting yang memicu keributan sosial di sekitar perdagangan manusia. Analisis isi yang luas liputan media yang dimulai pada 1990 dan memperluas ke dalam masa kini digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan bagaimana dan dalam keadaan apa perdagangan manusia itu di depan umum diakui sebagai masalah sosial.
Penelitian ini menelaah istilah 'perdagangan manusia' yang mulai muncul dalam laporan berita dalam rangka untuk menentukan apa, jika ada, peristiwa-peristiwa tertentu yang memicu respon di seluruh dunia untuk suatu kejahatan yang digolongkan sebagai salah satu kriminal terbesar di dunia hiburan. Selain itu, penelitian ini melihat bagaimana definisi perdagangan umum digunakan dalam media bisa menyulitkan penegakan hukum dan tanggapan penyedia layanan untuk masalah perdagangan manusia. Media dalam hal perdagangan manusia, telah jenuh dengan cerita-cerita perempuan dan anak perempuan dipaksa menjadi perbudakan seksual. Sensasi seperti bahan bakar untuk publik, keprihatinan tentang perdagangan seks sebagai kepanikan moral, yang pada akhirnya mengalihkan sumber daya dari bentuk-bentuk lain perdagangan, terutama kerja paksa. Penelitian ini memperluas analisis asli dengan mengembangkan tipologi karakteristik kasus perdagangan yang muncul di media.
3. Fahy, Stephanie, Farrel, Amy, dan Mc Devitt. Berjudul “Human Trafficking: Media Myth or reality?” paper yang dipresentasikan pada The Annual Meeting of The American Society of Criminology, di Atlanta, Georgia pada November 2007. Penelitian ini memberikan hasil dari analisis isi yang luas dari liputan media yang dimulai pada 1990 dan masih brlangsung hingga saat ini. Dalam rangka untuk menentukan bagaimana dan dalam keadaan apa perdagangan manusia itu di depan umum diakui sebagai masalah sosial. Sementara beberapa penelitian telah meneliti proses penetapan agenda melalui perdagangan manusia yang muncul di legislatif dan agenda politik, hanya ada sedikit penelitian mengenai peristiwa penting yang memicu keributan sosial di sekitar perdagangan manusia. Ini adalah yang pertama studi empiris untuk menjelajahi bagaimana perdagangan manusia digambarkan oleh media cetak dan bagaimana ia telah berubah dari waktu ke waktu untuk melihat tema-tema macam apa yang muncul yang mungkin telah berkontribusi terhadap kejahatan, didefinisikan sebagai masalah sosial. Menggunakan istilah pencarian 'perdagangan manusia', para peneliti melakukan pencarian artikel media cetak di empat wilayah AS 1990-2006. Lebih dari 1.347 laporan media cetak telah dianalisis sejauh ini untuk menentukan bagaimana para korban dan pelaku yang dikonseptualisasikan oleh media dan bagaimana insiden perdagangan dibingkai di media. Studi ini juga akan digunakan untuk memandu penelitian di masa depan, khususnya dalam menentukan bagaimana penggambaran media perdagangan manusia dirasakan oleh pembuat undang-undang dan penegakan hukum dan dampak persepsi ini.

D.Kerangka Pikir
Pada akhirnya, uraian beberapa teori dalam bab ini dapat disimpulkan dalam suatu kerangka pikir. Kerangka pikir ini merupakan model kebijakan pers yang dianut tiap media dan juga bagaimana porsi dan perhatian media ini terhadap suatu masalah.

KERANGKA PIKIR PENELITIAN

Tidak ada komentar: