Kamis, 05 November 2009

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang
Human trafficking atau perdagangan manusia telah menjadi agenda tersendiri oleh pemerintah yang harus diselesaikan. Tidak hanya menjadi masalah nasional, tapi perdagangan manusia dalam lingkup lembaga Asean, juga menjadi masalah yang tiap tahunnya tidak berhenti dibahas. Perdagangan manusia ini ternyata peredarannya lebih besar dalam lingkup Asean.
Maraknya kasus – kasus perdagangan wanita dan anak melalui jalur darat, laut dan udara menunjukkan bahwa aspek pencegahan maupun penegakan hukum belum optimal, selain faktor pendorong timbulnya kasus tersebut antara lain kurangnya lapangan kerja, minat bekerja di luar negeri yang cukup tinggi, modus operandi sindikat dalam mencari tenaga kerja, sistem administrasi pembuatan dokumen sangat mudah. Jumlah wanita Indonesia yang ditangkap oleh PDRM maupun Imigrasi Malaysia terlibat pelacuran sebagai korban sindikat perdagangan wanita dalam 3 tahun terakhir sekitar 6.425 orang (data situs pada KBRI-KL tahun 2006).
Maraknya perdagangan manusia ini disebabkan oleh beberapa hal. Pada dasarnya, berkaitan dengan ekonomi dan sosial. Dari segi ekonomi, perdagangan manusia ini melalui jerat hutang (George Martin Sirait dalam resume bukunya, 2006). Dari 16 kasus yang dipelajari, jeratan hutang umumnya berawal dari pembayaran di depan (advance) oleh pihak tertentu atas seluruh atau sebagian biaya rekrutmen serta pemberangkatan buruh ke tempat tujuan kerjanya. Selain itu, jeratan hutang juga bisa terjadi karena hutang (anggota) keluarga kepada pihak tertentu. Untuk mencicil atau melunasi hutang tersebut, salah satu anggota keluarga terpaksa dipekerjakan kepada pemberi hutang.
Di antara pelbagai elemen kondisi kerja, upah merupakan faktor yang paling menjelaskan keterkaitannya dengan jeratan hutang. Pada kasus buruh migran, karena yang bersangkutan dianggap masih "berhutang" entah kepada majikan atau calo, kerja mereka tidak dihargai alias tidak dibayar. Hal yang mirip terjadi pada mereka yang dieksploitasi secara seksual. Upah bulanan yang merupakan akumulasi premi dari setiap botol minuman yang berhasil terjual sesungguhnya tidak mencerminkan nilai pekerjaan yang mereka lakukan. Ada indikasi perendahan nilai kerja (undervalue) buruh yang bersangkutan sementara nilai hutang dilebih-lebihkan. Selain upah, tindakan-tindakan eksploitasi dan kekerasan, baik verbal maupun fisik, menjelaskan kondisi kerja yang buruk tersebut.
Selain itu, pembatasan pada kebebasan bergerak (freedom of movement) juga merupakan efek dari jeratan hutang. Pembatasan kebebasan bergerak ini muncul dalam beberapa bentuk, antara lain: penahanan fisik (penyekapan, tidak boleh keluar/pindah kerja dalam waktu tertentu, tidak boleh pulang), penahanan dokumen pribadi (berupa paspor untuk buruh migran), dan ancaman-ancaman yang membuat korban ketakutan (antara lain ancaman untuk mengambil kembali aset keluarga yang pernah diberikan).
Di Indonesia menurut data Academy for Educational Development –ILO (2001-2006), menjadi sumber dan juga sebgai tempat transit dan negara tujuan perdagangan manusia. UNICEF mengestimasi sebanyak 100 ribu perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan secara rutin untuk eksploitasi seksual secara komersial di Indonesia dan di luar negeri.
Wanita dan anak –anak Indonesia yang diperdagangkan secara seksual dan eksploitasi tenaga kerja berada di wilayah Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan, Jepang, Hongkong, dan Timur Tengah.
Pada 20 Maret 2007, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) disahkan pada rapat paripurna DPR RI (Harian Surat Kabar Merdeka,21 Maret 2007). Setidaknya ini telah memberi gambaran bagaimana keseriusan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah Human Trafficking. Menurut Latifah Iskandar pada wawancara Harian Suara Merdeka, praktek perdagangan orang telah menjadi persoalan serius di hampir seluruh provinsi di Indonesia baik sebagai wilayah pengirim, transit maupun penerima. Dalam perdagangan tersebut, perempuan dan anak-anak diperdagangkan untuk berbagai bentuk eksploitasi. "Dengan menyertakan jalur migrasi tidak resmi, berbagai LSM di Indonesia memperkirakan, sekitar 1,4 hingga 2,1 juta buruh migran perempuan Indonesia saat ini sedang bekerja di luar negeri," ungkapnya. Sedangkan untuk pembantu rumah tangga (PRT), laporan dari Konferensi ILO-IPEC 2001 memperkirakan, ada sekitar 1,4 juta PRT di Indonesia. Sebanyak 23 persennya adalah anak-anak.
Di Malaysia, menurut data Academy for Educational Development –ILO (2001-2006), justru lebih sering menjadi tujuan human trafficking walaupun juga menjadi negara sumber perdagangan manusia. Para trafficker di Malaysia berada dalam satu sindikat. Yang warga Malaysia (walaupun jumlahnya kecil) yang menjadi korban trafficking adalah etnik China perempuan dan anak-anak, menjadi korban eksploitasi seksual di Singapura, Macau, Hongkong, Taiwan, Jepang, Australia, Kanada, dan Amerika. Sedangkan yang menjadi korban trafficking di Malaysia berasal dari Indonesia, Thailand, Filipina, Kamboja, Vietnam, Burma, India, Nepal, Bangladesh, Pakistan, dan RRC. Rata-rata mereka dieskploitasi secara seksual dan tenaga kerja.
U.S. Department of State’s Trafficking in Persons Report mengungkapkan bahwa pemerintah Malaysia dalam masalah human trafficking ini tidak memperlihatkan usaha yang signifikan dalam menyelesaikan kasus-kasus perdagangan manusia. Malaysia sebenarnya memiliki peraturan yang berhubungan dengan pelarangan human trafficking (Anti –Trafficking in Persons Act, Mei 2007), bahkan mereka memberikan penampungan (shelter), tetapi masih saja perhatian pemerintah Malaysia minim. Salah satu contohnya adalah korban-korban traficking baru akan ditolong oleh pemerintah Malaysia ketika negara asal korban trafficking meminta kepada Malaysia untuk mengatasinya. Malaysia juga tidak melakukan identifikasi secara maksimal para pekerja ilegal yang notabene adalah korban trafficking. Tetapi pemerintah Malaysia malah langsung mendeportasi atau memenjarakan.
Di Filipina, menurut data Academy for Educational Development –ILO (2001-2006), negara ini menjadi sumber, tempat transit, dan negara tujuan perdagangan manusia. Sebagai sumber, pria, wanita, dan anak –anak dari Filipina menjadi korban eksploitasi seksual dalam tenaga kerja di Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Malaysia, Hongkong, Singapura, Jepang, Afrika Selatan, Amerika Utara, dan Eropa. Sekitar 300-400 ribu orang menjadi korban trafficking. Untuk transit, Filipina merupakan negara transit tujuan China. Sebagai negara tujuan perdagangan manusia, Filipina walaupun jumlahnya sedikit, mereka mengimpor wanita dari RRC, Korea Utara, Jepang, dan Rusia untuk eksploitasi seksual.
Pemerintah Filipina mendukung segala bentuk perlindungan terhadap korban trafficking di Filipina dan luar negeri. Mereka memiliki 42 shelter yang menampung korban trafficking. Di luar negeri, mereka juga memiliki konseling psikologi yang membantu warga Filipina yang menjadi korban. Selain itu, mereka juga melakukan upaya perlindungan korban dan pemberantasan human trafficking dengan beberapa aturan dan kerjasama lembaga. Seperti berdirinya Anti –Trafficking taskforce di Bandara Internasional Ninoy Aquino
Di Thailand, menurut data Academy for Educational Development –ILO (2001-2006), negara ini menjadi sumber human trafficking yang dikirim ke Jepang, Malaysia, Afrika Selatan, Bahrain, Australia, Singapura, Eropa, Kanada, dan Amerika untuk eksploitasi seksual dan tenaga kerja. Sebagai negara transit, sejumlah wanita dan anak-anak perempuan dari Burma, Kamboja, dan Vietnam dikirim melewati perbatasan Selatan Thailand ke Malaysia (Johor Baru), melintasi Singapura. Sebagai negara tujuan, Thailand mengimpor tenaga kerja ilegal yang dipekerjakan paksa secara tenaga dan seksual dari Burma, Kamboja, Laos, RRC, Rusia, Uzbekistan.
Pemerintah Thailand juga melakukan peraturan ketat terhadap masalah human trafficking. Sejak September 2006, korps militer, Pemerintah Thai membuat tujuan untuk melawan sisa-sisa trafficking. Mereka memberi denda sebesar $50 sampai $1000 kepada pelaku, tetapi korban laki-laki tidak masuk kedalam aturan perlindungan. Karena tidak ada undang –undangnya. Mereka juga memberikan perlindungan kepada korban trafficking yang berasal dari luar Thailand yang berada di negaranya. Seperti menyediakan shelter yang dilengkapi dengan psikolog, makanan, dan bantuan kesehatan. Sedangkan korban laki-laki langsung dideportasi tanpa pengurusan yang panjang. Pemerintah Thailand juga menyiapkan buku pegangan untuk membantu korban trafficking.
Di Vietnam, menurut data Academy for Educational Development –ILO (2001-2006), negara ini menjadi sumber trafficking manusia seperti laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang dieksploitasi secara tenaga dan seksual ke Kamboja, RRC, Thailand, Hongkong, Macau, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Amerika, dan Republik Czech. Sebagai negara tujuan, Vietnam mengimpor anak-anak yang ditrafficking dari Kamboja. Kasus human trafficking di Vietnam menjadi banyak karena faktor pendidikan yang rendah, kurangnya kepedulian akan trafficking, konflik keluarga, permintaan istri dari para pria china, dan juga masalah perbatasan.
Pemerintah Vietnam telah memulai mengembangkan pelayanan dan fasilitas untuk korban trafficking dari Vietnam yang kembali dari luar negeri. Tetapi, mereka memenjarakan para wanita asing yang ditemukan di tempat prostitusi dan tidak memiliki identitas yang cukup. Mereka juga membuatkan buku pegangan untuk hakim dan penuntut umum untuk menjalankan peraturan secara baik.
Semua keadaan ini menjadi masalah intern Asean. Apalagi, alur perdagangan memang lebih besar jumlahnya dari negara-negara Asean. Sepanjang tahun, pemerintah, LSM- LSM, dan media melaporkan bahwa perempuan diperdagangkan ke Malaysia, Jepang, Timur Tengah (termasuk Saudi Arabia dan Kuwait), Taiwan, Hongkong, Singapura, dan tempat tujuan lainnya. Malaysia menjadi tujuan dengan laporan jumlah kasus korban perdagangan perempuan terbanyak. Perempuan-perempuan dari Cina, Thailand, Eropa Timur, dan Asia Tengah dalam jumlah yang tidak bisa dipastikan dijual ke negara itu untuk eksploitasi seksual. Angka-angka yang bisa diandalkan sehubungan dengan jumlah orang yang diperdagangkan tidak tersedia. Sebuah studi tahun 2003 oleh LSM Solidarity Center dan ICMC memperkirakan bahwa antara 2.4 dan 3.7 juta perempuan dan anak-anak bekerja di kategori yang rentan sebagai pekerja migran, pekerja seks, dan pembantu rumah tangga anak-anak. Dalam kategori-kategori ini, perkiraan jumlah keseluruhan anak-anak berkisar antara 254.000 hingga 422.000 (data Biro Demokrasi, Hak Asasi dan Pekerja; 2006:29-31).
Apalagi, -masih menurut data Biro Demokrasi, Hak Asasi dan Pekerja; (2006), saat ini beberapa organisasi dunia telah mencap beberapa negara sebagai negara yang paling sulit diatur dalam masalah Human Trafficking. Indonesia sudah mulai membenahi sistem pengiriman tenaga kerjanya. Penerbitan undang-undang perdagangan manusia pun dirasakan akan sangat membantu warga negara kita dalam hal perlindungan TKI.
Tak selesainya masalah ini secara tidak langsung menohok tiap pemerintahan di Negara Asean. Ini mendeskripsikan ketidakseriusan tiap Negara Asean dalam menyelamatkan masyarakatnya yang terlibat perdagangan.
Beberapa Negara di Asean masih berada dalam bayang-bayang kemiskinan. Mau tak mau perdagangan manusia tetap akan marak walaupun berbagai undang-undang akan ramai dibuat untuk menghentikan human trafficking ini.
Tidak hanya pemerintah, media massa tentu saja memiliki peran dalam menghentikan arus perdagangan manusia. Apakah media itu memberitakan atau melaporkan secara informatif yang sangat formal atau justru melakukan investigasi dalam menghentikan perdagangan tersebut.
Media menjadi alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologi memandang bahwa dalam komunikasi antarmanusia, maka media yang paling dominan dalam berkomunikasi adalah pancaindra manusia seperti mata dan telinga. Pesan-pesan yang diterima pancaindra selanjutnya diproses dalam pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan. Salah satunya menurut Hafied (2005:119) adalah media massa. Media massa yang salah satunya memiliki fungsi kontrol sosial secara tidak langsung memiliki peran yang penting dalam menghentikan arus perdagangan manusia. Tapi bagaimana bentuk kebijakan media di tiap Negara Asean? Walaupun berada dalam satu organisasi internasional, tetapi kebijakan akan pers tentu memiliki perbedaan. Inilah yang kemudian mempengaruhi solusi-solusi tiap Negara dalam menyelesaikan masalah perdagangan manusia. Di sinilah akan dilihat, bagaimana porsi dan perhatian media-media di Asean terhadap masalah perdagangan manusia baik di negaranya masing-masing maupun dalam lingkup Asean.
Berita yang disajikan oleh media tentu tergantung dari nilai berita suatu masalah yang diangkat. Human trafficking sebenarnya telah mengandung unsur proximity. Maka, bukan alasan lagi, jika ada media yang menolak untuk mempublikasikan masalah Human Trafficking.
Tapi masalahnya, sejauh mana tiap negara mengizinkan medianya untuk mengekspose masalah-masalah intern ke publik global, khususnya masalah human trafficking. Tak dapat dipungkiri, keburukan penanganan human trafficking ini membuat image beberapa negara Asean tercoreng di mata dunia. Media kemudian berada pada titik dilema, antara memberitakan kenyataan dan memainkan perannya sebagai kontrol sosial, ataukah menjaga image negaranya dengan tidak mengabarkan fakta yang ada. Toh, masyarakat dunia bisa melihatnya dari kacamata lain.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh bagaimana peranan, porsi dan perhatian media-media di tiap negara-negara Asean serta kebijakan tiap negaranya dalam mempublikasikan masalah perdagangan manusia. Untuk itulah kemudian penulis memilih judul penelitian ini; “Pemberitaan Human Trafficking (Perdagangan Manusia) dalam Surat Kabar Elektronik di Lima Negara ASEAN”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar pemberian porsi terhadap masalah human trafficking di Asean pada surat kabar elektronik di 5 negara Asean?
2. Seberapa besar perhatian dan peranan media online terhadap masalah human trafficking di 5 negara Asean?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pemberian porsi terhadap masalah human trafficking di Asean pada surat kabar elektronik di 5 negara Asean
2. Untuk mengetahui perhatian dan peranan media online terhadap masalah human trafficking di 5 negara Asean

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dari adanya penelitian ini antara lain:
1. Teoritis. Hasil studi ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, serta sikap masyarakat, khususnya kalangan praktisi pers tentang peliputan dan pembuatan berita yang baik khususnya mengenai berita-berita sosial. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah referensi bagi peneliti-peneliti, terutama yang berhubungan dengan analisa berita dan kebijakan media, baik pada lembaga media atau praktisi media.
2. Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk tujuan dan kepentingan praktis, terutama masyarakat kalangan pers, khususnya praktisi media online yang selama ini telah berperan sebagai pengambil kebijakan dalam media. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat membantu permasalahan human trafficking di negara-negara Asean.

Tidak ada komentar: